Ketika SDM menjadi Senjata Diplomasi Indonesia–Tiongkok

Ditulis oleh: Dinda Rizki
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa

 

“Kerja sama antarbangsa, tidak hanya dibangun atas angka perdagangan atau tumpukan modal, melainkan pada kualitas manusia yang menjembatani relasi tersebut.”

Kalimat ini mencerminkan arah hubungan strategis Indonesia–Tiongkok yang tidak hanya berfokus dalam pertumbuhan investasi dan perdagangan, tetapi juga dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sejak penandatanganan Comprehensive Strategic Partnership tahun 2013, kedua negara telah memperluas kerja sama dari bidang perdagangan dan investasi menuju pendidikan serta kebudayaan.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, nilai perdagangan bilateral Indonesia–Tiongkok mencapai USD 127,8 miliar, dengan Tiongkok menempati posisi sebagai mitra dagang utama Indonesia. Namun, kerja sama ini tidak boleh berhenti pada aspek ekonomi semata. Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 270 juta dan momentum bonus demografi yang diperkirakan berlangsung hingga 2045, justru menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan kualitas SDM.

Menurut data World Bank (2022), hanya sekitar 30% lulusan perguruan tinggi Indonesia yang dianggap kompetitif dan merasa siap menghadapi tuntutan industri. Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara output pendidikan Indonesia dengan standar internasional. Selain itu, data dari Global English Proficiency Index (2023) menempatkan Indonesia dalam kategori “low proficiency”, di peringkat 81 dari 111 negara. Hal ini menghambat kemampuan lulusan untuk bersaing dalam lingkungan kerja global.

Dalam konteks ini, pertukaran pendidikan dan budaya menjadi instrumen penting dalam diplomasi antara Indonesia dan Tiongkok. Hingga 2024, tercatat lebih dari 15.000 pelajar Indonesia menempuh studi di Tiongkok. Angka ini mencerminkan meningkatnya kebutuhan akan generasi muda yang mampu beradaptasi dengan standar global, yang dapat menguasai bahasa dan budaya lintas negara, serta dibekali kapabilitas yang setara dengan standar internasional.

Selain itu, kerja sama strategis kedua negara juga membuka peluang penguatan kolaborasi riset dan inovasi. Transfer teknologi dari Tiongkok ke Indonesia dapat menjadi katalis dalam pengembangan talenta digital berstandar internasional, sehingga memperkuat posisi kompetitif pekerja Indonesia dalam pasar kerja internasional.

Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa SDM global-ready adalah salah satu kunci keberlanjutan hubungan bilateral Indonesia–Tiongkok. Tanpa SDM yang mumpuni, Indonesia hanya akan menjadi pasar investasi dan tenaga kerja asing. Sebaliknya, dengan SDM yang siap bersaing di panggung internasional, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai mitra yang sejajar dalam diplomasi pengetahuan maupun investasi jangka panjang. Oleh karena itu, strategi penyiapan SDM global-ready bukan hanya relevan, tetapi juga mendesak agar sinergi kerja sama Indonesia–Tiongkok benar-benar berjalan inklusif dan berkelanjutan.

Dalam era kompetisi global yang semakin dipengaruhi oleh arus teknologi dan inovasi, kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penentu dalam menentukan daya saing suatu negara. Permintaan global terhadap talenta digital dan riset berbasis teknologi tinggi kini berkembang menjadi salah satu instrumen geopolitik utama bagi negara-negara maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi sebagai soft power yang menentukan posisi strategis suatu bangsa dalam percaturan internasional.

Dalam kerangka ini, Indonesia perlu memastikan bahwa sektor pendidikan dan pengelolaan sumber daya manusia tidak sekadar berperan sebagai pengguna layanan akademik luar negeri, melainkan juga sebagai instrumen diplomasi strategis nasional yang mampu memperkuat ketahanan ekonomi negara. Diplomasi pengetahuan dapat dipahami sebagai penggunaan pendidikan, riset, inovasi, dan pertukaran akademik sebagai instrumen untuk memperkuat hubungan antarnegara.

Hadirnya kerja sama Indonesia–Tiongkok membuat urgensi pembangunan SDM global-ready sebagai salah satu diplomasi pengetahuan menjadi semakin krusial. Tiongkok hadir bukan hanya sebagai investor ataupun mitra dagang semata, namun juga sebagai salah satu pusat berkembangnya teknologi, pendidikan, dan inovasi dunia. Dalam hal ini, jika Indonesia tidak menyiapkan tenaga kerja yang kompetitif secara global dan memanfaatkan peluang atas kerja sama yang ada, maka potensi ketergantungan pada modal asing dan dominasi arus masuk pekerja asing akan terus meningkat. Sebaliknya, SDM yang siap bersaing di kancah internasional tentunya dapat memperkuat posisi Indonesia dalam mengelola arus investasi, alih teknologi, serta pertukaran pengetahuan.

Sejalan dengan hal tersebut, urgensi pengembangan SDM global-ready ini bukan hanya dalam segi konseptual, namun juga diiringi dengan sejumlah fakta empiris yang menegaskan tantangan dan peluang nyata di lapangan.

Pertama, hadirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2025–2029) dan Visi Indonesia Emas 2045 merupakan kerangka strategis yang menegaskan pentingnya pembangunan SDM sebagai fondasi utama transformasi ekonomi nasional.

RPJMN menekankan perluasan akses pendidikan vokasional, penguatan riset, serta peningkatan kapasitas tenaga kerja berbasis digital untuk menghadapi kompetisi global yang semakin ketat. Sasaran ini berpadu dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan penciptaan sekitar 10 juta talenta unggul dalam teknologi mutakhir, seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, energi terbarukan, dan logistik pintar.

Dalam konteks ini, Perjanjian Bilateral antara Indonesia–Tiongkok 2025 menjadi momentum strategis yang membuka ruang kolaborasi pendidikan internasional. Kesepakatan ini memberi peluang bagi pengembangan program joint degree, kolaborasi riset, dan pelatihan internasional berbasis kebutuhan industri global.

Kedua, meningkatnya mobilitas lebih dari 15.000 pelajar Indonesia yang menempuh studi di Tiongkok pada tahun 2024 menunjukkan eratnya hubungan bilateral kedua negara, sekaligus menghadirkan peluang dan tantangan bagi penguatan daya saing nasional.

Pengalaman akademik tersebut seharusnya dapat dikonversi menjadi modal pengetahuan yang dapat memperkuat daya saing secara global, bukan sekadar konsumsi pendidikan luar negeri. Selain itu, keberadaan pelajar Indonesia di Tiongkok membuka kesempatan untuk membangun jejaring internasional, mengadopsi wawasan riset mutakhir, dan mengakses praktik terbaik di berbagai bidang teknologi, hukum, manajemen, dan perekonomian, yang semuanya dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi di tanah air.

Namun, hal ini dapat menjadi tantangan apabila tidak dikelola dengan strategi yang tepat. Fenomena ini justru berpotensi menimbulkan brain drain, di mana lulusan lebih memilih menetap di luar negeri karena ekosistem industri dan riset di dalam negeri belum cukup kondusif. Menurut data dari Rakki.id, migrasi tenaga kerja berkualitas tinggi dari Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya peluang karir yang memadai dan iklim kerja yang tidak kondusif.

Selain itu, rendahnya apresiasi terhadap inovasi dan potensi pelajar Indonesia juga memperburuk situasi. Fenomena #KaburAjaDulu yang viral di media sosial menggambarkan kekecewaan generasi muda terhadap kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia. Banyak dari mereka merasa bahwa peluang untuk berkembang di dalam negeri terbatas, sehingga memilih mencari peluang hidup yang lebih sejahtera di luar negeri.

Tidak hanya di Tiongkok, data dari GoodStats.id juga menunjukkan bahwa jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri mencapai 59.224 orang, dengan sebaran terbesar di Australia dan Malaysia. Meskipun jumlah ini menunjukkan tingginya minat pelajar Indonesia dalam menempuh studi di luar negeri, hal ini juga menandakan adanya potensi kehilangan talenta yang dapat berkontribusi pada pembangunan nasional.

Fenomena ini menyoroti kelemahan struktural sistem pendidikan, riset, dan industri di Indonesia, yang belum mampu menampung potensi dan inovasi generasi muda. Tanpa intervensi kebijakan yang holistik, reintegrasi alumni, penghargaan terhadap inovasi, serta peningkatan kapasitas riset dan industri secara domestik, maka mobilitas pelajar berpotensi menjadi alih talenta yang justru mengurangi daya saing nasional, alih-alih memperkuat posisi strategis Indonesia dalam kerja sama bilateral dengan negara mitra seperti Tiongkok.

Ketiga, dilihat dari sudut pandang ekonomi, data perdagangan dan investasi menunjukkan besarnya porsi Tiongkok sebagai mitra dagang utama sekaligus investor besar di Indonesia. Kondisi ini menuntut kesiapan SDM Indonesia untuk mampu mengelola aliran investasi, transfer teknologi, serta menghadapi potensi ketimpangan dalam hubungan bilateral.

Statistik menunjukkan bahwa dalam proyek kerja sama bilateral, Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok paling tinggi dibandingkan dari negara-negara lain. Dominasi TKA ini, yang mencakup berbagai sektor seperti konstruksi, energi, maupun manufaktur, mengindikasikan adanya kesenjangan kapasitas antara SDM lokal dengan kebutuhan teknis proyek strategis. Akibatnya, kemampuan Indonesia untuk menyerap teknologi dan memaksimalkan nilai tambah investasi menjadi terbatas.

Kondisi ini tidak hanya menghambat pertumbuhan kompetensi lokal, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketergantungan jangka panjang terhadap tenaga ahli asing. Dari perspektif strategis, hal ini memperlihatkan bahwa investasi besar tidak otomatis berkontribusi pada pembangunan kapasitas nasional. Sebaliknya, tanpa intervensi kebijakan yang tepat, aliran teknologi dan pengetahuan yang dibawa oleh investor asing bisa terserap sebagian besar oleh TKA dan kontraktor asing, sementara SDM lokal tetap berada pada posisi yang kurang mampu bersaing secara global.

Selain itu, dominasi TKA Tiongkok juga memperkuat risiko ketimpangan sosial-ekonomi, karena sebagian besar pekerjaan teknis dan manajerial strategis cenderung dikuasai oleh tenaga asing, sedangkan SDM lokal menempati posisi yang lebih rendah dengan kompensasi terbatas. Dari sudut pandang diplomasi ekonomi, situasi ini menuntut penguatan SDM global-ready yang tidak terbatas pada keahlian teknis, namun mencakup pula kompetensi manajerial, negosiasi, dan adaptasi lintas budaya.

Dengan kata lain, investasi bilateral hanya dapat benar-benar menguntungkan Indonesia jika diimbangi oleh strategi pembangunan kapasitas SDM, kebijakan transfer teknologi yang jelas, serta sistem penghargaan yang mendorong partisipasi aktif SDM lokal dalam berbagai proyek strategis.

Keempat, dimensi budaya harus dilihat bukan hanya sebagai identitas nasional, melainkan juga sebagai instrumen strategis dalam diplomasi pengetahuan dan inovasi. SDM yang memiliki kompetensi lintas budaya (intercultural competence) mampu berperan lebih dari sekadar tenaga kerja teknis; mereka dapat menjadi aktor diplomasi ekonomi yang menjembatani kepentingan Indonesia dengan mitra seperti Tiongkok.

Pertukaran budaya melalui keberadaan pelajar Indonesia di Tiongkok, arus wisatawan, hingga lembaga seperti Confucius Institute sebenarnya tidak hanya berfungsi mempererat hubungan sosial, tetapi juga menghasilkan nilai tambah ekonomi.

Misalnya, SDM yang paham dengan kebudayaan mitra cenderung lebih aktif dalam negosiasi bisnis, manajemen proyek multinasional, serta adaptasi di pasar global. Hal ini penting karena salah satu kendala terbesar dalam kerja sama investasi adalah perbedaan cara kerja, pola komunikasi, dan etika profesional antarbangsa.

Oleh karena itu, penguatan kebudayaan juga harus diposisikan sebagai modal diplomasi sekaligus investasi. SDM Indonesia yang berakar kuat pada budaya nasional namun adaptif terhadap budaya asing akan lebih siap menghadapi arus globalisasi. Hal ini dapat mengurangi risiko ketergantungan pada tenaga kerja asing, memperkuat posisi tawar dalam investasi, serta membangun kepercayaan (trust) yang menjadi fondasi keberhasilan kerja sama jangka panjang.


Dari seluruh uraian di atas, jelas bahwa pembangunan SDM Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dinamika global maupun kebutuhan domestik. Dari RPJMN dan Visi Indonesia Emas 2045, mobilitas pelajar ke luar negeri, hingga dominasi tenaga kerja asing dalam proyek strategis, semuanya menggarisbawahi satu benang merah: kualitas SDM adalah faktor kunci yang menentukan sejauh mana Indonesia dapat mengambil manfaat optimal dari kerja sama internasional, khususnya dengan Tiongkok.

Lebih dari sekadar aspek teknis, dimensi budaya turut memainkan peran penting dalam membentuk SDM yang adaptif, berdaya saing, dan memiliki kapasitas diplomasi. Dengan demikian, pembahasan ini menuntun pada sebuah refleksi terkait bagaimana Indonesia dapat mengubah peluang dan tantangan tersebut menjadi strategi pembangunan SDM yang benar-benar berfungsi sebagai investasi jangka panjang sekaligus instrumen diplomasi yang memperkuat posisi bangsa di tingkat global.


Rekomendasi Strategis

  1. Program Joint Degree dan Dual Campus
    Perlu adanya pengembangan program joint degree dan dual campus antara perguruan tinggi Indonesia dengan universitas Tiongkok, khususnya di bidang teknologi frontier seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), logistik global, dan energi masa depan.

    Melalui skema ini, mahasiswa Indonesia tidak hanya memperoleh akses pada kurikulum dan standar pendidikan internasional, tetapi juga terlibat langsung dalam riset serta inovasi mutakhir yang relevan dengan kebutuhan industri global. Model pendidikan kolaboratif semacam ini akan mempercepat terciptanya talenta unggul yang mampu bersaing di tingkat internasional.

  2. Mobilitas Talenta dan Diplomasi Pengetahuan
    Mobilitas talenta dan diplomasi pengetahuan perlu ditingkatkan melalui skema beasiswa bilateral, program visiting scholar, serta residency bersama diaspora Indonesia di Tiongkok. Program ini tidak hanya mendorong aliran pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memperkuat jejaring akademik dan profesional yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang.

    Keterlibatan diaspora dalam ekosistem pengetahuan akan memperkaya perspektif global generasi muda Indonesia, sekaligus memperkuat diplomasi intelektual di kancah internasional.

  3. Integrasi Budaya dalam Pembangunan SDM
    Integrasi budaya dalam pembangunan SDM harus menjadi agenda strategis. Budaya tidak boleh hanya ditempatkan sebagai identitas, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi yang melembutkan hubungan bilateral.

    Melalui pertukaran budaya, penguatan lembaga kebudayaan, serta pelatihan intercultural competence, SDM Indonesia dapat berperan sebagai “jembatan diplomasi” yang mampu mereduksi kesalahpahaman, membangun kepercayaan, dan menciptakan hubungan kerja sama yang lebih seimbang dengan Tiongkok.


Daftar Pustaka