Ditulis oleh: A’an Ilham Ardiyansah
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa
Abstrak
The surge of bilateral investment between Indonesia and China marks a transformative shift in regional economic dynamics, presenting vast opportunities alongside complex legal, social, and environmental challenges. Conventional international arbitration mechanisms, such as ICSID and UNCITRAL, while globally recognized, often lack the flexibility to address the specific bilateral context and embedded ESG (Environmental, Social, Governance) considerations.
This study introduces the ICS-AF (Inclusive & Sustainable Arbitration Framework), an innovative arbitration model integrating a binding ESG clause and structured stakeholder engagement, positioning inclusivity, transparency, and sustainability as foundational principles for investment dispute resolution. By synthesizing regional best practices from institutions such as SIAC and LCIA with the legal, cultural, and socio-economic nuances of Indonesia–China relations, ICS-AF delivers responsive legal certainty while enhancing social legitimacy and environmental accountability.
The framework reconceptualizes arbitration as a strategic instrument, reinforcing investor confidence, facilitating sustainable capital flows, and advancing legal–cultural diplomacy. Ultimately, ICS-AF establishes a paradigm for bilateral investment dispute resolution—inclusive, sustainable, and visionary arbitration—setting a benchmark for progressive legal innovation in the global investment arena.
Kata Kunci: ICS-AF, Bilateral Investment Arbitration, ESG Clause
Pendahuluan
Di persimpangan ekonomi global dan dinamika bilateral, investasi Indonesia–Tiongkok bukan sekadar angka perdagangan; ia adalah medan ujian hukum, etika, dan diplomasi budaya—di mana setiap aliran modal menuntut kepastian hukum, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Ketidakpastian konvensional tidak lagi cukup; yang dibutuhkan adalah kerangka arbitrase progresif yang mampu menjembatani kepentingan investor, negara, dan masyarakat secara simultan. Investasi bilateral Indonesia–Tiongkok merupakan medan interaksi multidimensi yang menuntut sinergi hukum, ekonomi, dan budaya.
Pada 2024, nilai perdagangan bilateral menembus USD 127,8 miliar (BPS, 2025), sementara Tiongkok menempati posisi investor asing terbesar kedua di Indonesia dengan aliran investasi sebesar USD 7,4 miliar (BKPM, 2025). Kondisi ini menuntut mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya efisien, tetapi adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
Mekanisme arbitrase internasional konvensional—ICSID dan UNCITRAL—memberikan kerangka normatif yang preskriptif, namun kurang responsif terhadap nuansa lokal dan kepentingan bilateral spesifik Indonesia–Tiongkok. Sementara itu, praktik regional seperti SIAC dan LCIA menampilkan inovasi signifikan: inklusi pemangku kepentingan, perlindungan ESG (Environmental, Social, Governance), dan prosedur yang adaptif terhadap dinamika sosial-ekonomi.
Kesenjangan ini menegaskan urgensi perumusan model arbitrase yang mengharmoniskan kepastian hukum, keberlanjutan, dan keadilan distributif. Pengembangan ICS-AF (Inclusive & Sustainable Arbitration Framework) dengan binding ESG clause dan mekanisme stakeholder engagement menjadi revolusi normatif dan operasional. Model ini tidak hanya menyelesaikan sengketa secara adil dan transparan, tetapi juga menegaskan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan harmonisasi regulasi lintas yurisdiksi.
Arbitrase bertransformasi menjadi instrumen strategis yang memperkuat kepastian hukum, mendorong investasi berkelanjutan, dan memperkokoh diplomasi hukum-budaya. Dengan demikian, merumuskan kerangka ICS-AF bukan sekadar respons normatif terhadap dinamika investasi bilateral, melainkan manifestasi foresight hukum-ekonomi yang menyatukan dimensi akademis, praktis, dan diplomasi. Model ini menghadirkan paradigma baru bagi penyelesaian sengketa investasi Indonesia–Tiongkok yang progresif, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi fondasi bagi sinergi hukum, budaya, dan ekonomi yang berkelanjutan di era global.
Pembahasan
A. Kebutuhan Mekanisme Arbitrase Lokal untuk Investasi Bilateral Indonesia–Tiongkok: Pembandingan dengan ICSID dan UNCITRAL
Pertumbuhan investasi bilateral Indonesia–Tiongkok bukan sekadar fenomena ekonomi; ia merupakan medan kompleks yang menuntut kepastian hukum adaptif, sensitivitas budaya, dan efisiensi prosedural.
Pada 2024, nilai investasi tercatat USD 8,1 miliar (BKPM, 2025) dengan perdagangan menembus USD 127,8 miliar (BPS, 2025), menegaskan urgensi mekanisme penyelesaian sengketa yang mampu menyeimbangkan kepentingan investor, negara, dan masyarakat.
Saat ini, penyelesaian sengketa mayoritas dilakukan melalui lembaga internasional seperti ICSID dan UNCITRAL. Meskipun diakui secara global, keduanya memiliki keterbatasan substansial: proses panjang, biaya tinggi, minim fleksibilitas, dan subordinasi arbitrase asing. ICSID terbatas pada negara peserta Convention, dengan prosedur rigid, kurang responsif terhadap kepentingan lokal. UNCITRAL lebih adaptif, tetapi tetap generik dan kurang mempertimbangkan nuansa nasional. Akibatnya, investor menghadapi risiko finansial, ketidakpastian hukum, dan friksi diplomatik.
Ketiadaan mekanisme arbitrase lokal khusus untuk investasi Indonesia–Tiongkok menegaskan urgensi pengembangan kerangka hukum yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan. Sistem baru ini sebaiknya mengintegrasikan arbitrator independen dari kedua negara, binding ESG clause untuk menjamin investasi bertanggung jawab, serta mekanisme stakeholder engagement yang melibatkan pemerintah, investor, dan komunitas lokal. Pendekatan holistik ini tidak hanya memperkuat kedaulatan hukum nasional, tetapi juga menghadirkan alternatif penyelesaian sengketa yang adaptif, berkeadilan, dan selaras dengan nilai budaya.
Dengan strategi ini, Indonesia tidak sekadar menutup celah kelemahan ICSID dan UNCITRAL, melainkan memproyeksikan model arbitrase bilateral visioner, berpotensi jadi benchmark regional, sekaligus menegaskan kapasitas hukum Indonesia dalam membentuk paradigma investasi berkelanjutan di era transnasional.
B. Benchmark Praktik Regional: SIAC dan LCIA untuk Arbitrase Inklusif dan Berkelanjutan
Dalam investasi bilateral Indonesia–Tiongkok, pengembangan mekanisme arbitrase lokal yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan merupakan kebutuhan strategis. Hingga 2025, belum terdapat lembaga atau kerangka regulasi formal yang mengatur arbitrase bilateral kedua negara, sehingga adaptasi praktik regional dan standar internasional menjadi fondasi bagi perancangan mekanisme yang efektif, adil, dan berorientasi keberlanjutan.
Praktik terbaik dari lembaga arbitrase terkemuka, seperti Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan London Court of International Arbitration (LCIA), memberikan referensi konkret. SIAC mengimplementasikan prosedur arbitrase yang cepat, transparan, dan fleksibel, termasuk mekanisme emergency arbitrator dan penunjukan arbiter yang memperhatikan keberagaman serta inklusivitas. Studi literatur menunjukkan bahwa mekanisme yang menekankan efisiensi dan fleksibilitas dapat menurunkan biaya sengketa hingga 30–40%, sekaligus meningkatkan kepastian hukum investor—faktor krusial dalam memperkuat kepercayaan bilateral.
LCIA, melalui Pedoman Kesetaraan, Keberagaman, dan Inklusi (EDI) 2024, menekankan integrasi prinsip EDI dari seleksi arbiter hingga pelaksanaan sidang, menegaskan akuntabilitas, transparansi, dan sensitivitas budaya. Adaptasi ini memungkinkan perancangan model arbitrase bilateral Indonesia–Tiongkok yang progresif, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus menempatkan praktik regional sebagai benchmark global yang relevan dan visioner.
Benchmark ini mempertegas bahwa arbitrase internasional mampu mengadopsi pendekatan yang responsif terhadap konteks lokal sekaligus patuh pada standar global, prinsip yang sangat relevan bagi Indonesia. Integrasi prinsip inklusif melalui stakeholder engagement, yang melibatkan pemerintah, investor, dan komunitas lokal, meningkatkan legitimasi keputusan arbitrase sekaligus memastikan keberlanjutan implementasinya.
Dengan mengacu pada praktik regional, Indonesia berpotensi mengembangkan model arbitrase bilateral yang inovatif dan holistik, menggabungkan kecepatan prosedural, transparansi, sensitivitas budaya, dan orientasi keberlanjutan. Pendekatan ini tidak hanya menurunkan risiko sengketa berkepanjangan dan biaya litigasi yang tinggi, tetapi juga memperkuat diplomasi hukum dan budaya, serta menghadirkan mekanisme yang terukur, aplikatif, dan strategis dalam penyelesaian sengketa investasi bilateral.
C. Merumuskan Model ICS-AF Arbitrase Bilateral Inklusif Berkelanjutan dengan Binding ESG Clause dan Stakeholder Engagement
Investasi bilateral Indonesia–Tiongkok menuntut mekanisme arbitrase ICS-AF (Inclusive & Sustainable Arbitration Framework) hadir sebagai terobosan strategis, mengintegrasikan ESG clause.
Pertama, legally deterministic adjudication menjamin putusan arbitrase sah lintas yurisdiksi, selaras dengan ICSID, UNCITRAL, serta standar SIAC dan LCIA.
Kedua, stakeholder-centric engagement menempatkan partisipasi komunitas lokal, otoritas daerah, dan lembaga independen sebagai fondasi proses. Melalui multi-stakeholder deliberation, arbitrase bertransformasi menjadi arena co-creative problem solving, memperkuat legitimasi sosial dan memastikan keseimbangan antara kepentingan investor-masyarakat.
Ketiga, binding ESG clause menegaskan tanggung jawab lingkungan, sosial, dan tata kelola sebagai kewajiban hukum yang tidak dapat diabaikan. Dengan adaptive compliance monitoring, ICS-AF mampu merespons dinamika ESG secara real-time, menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial-lingkungan.
Keempat, procedural adaptiveness memungkinkan fleksibilitas dalam menghadapi kompleksitas kasus, termasuk arbitrase hybrid yang memadukan praktik ASEAN dan standar internasional.
ICS-AF menyediakan roadmap: kontrak investasi wajib menyertakan ESG clause; arbitrase inklusif menempatkan stakeholder di pusat keputusan; kepatuhan ESG dievaluasi secara periodik; mekanisme sengketa adaptif menanggapi perubahan regulasi dan risiko sosial-ekonomi. Dengan struktur ini, ICS-AF merupakan blueprint operasional untuk arbitrase bilateral yang unggul—memadukan kepastian hukum, keberlanjutan, dan legitimasi sosial—serta memperkuat diplomasi hukum dan investasi Indonesia–Tiongkok.
Model ini menegaskan arbitrase sebagai instrumen strategis, dan visioner, siap menghadapi tantangan global, sekaligus menjadi standar baru bagi hubungan investasi lintas negara yang kompleks dan kompetitif.
D. Implikasi Akademis, Praktis, dan Diplomasi Hukum-Budaya
Model ICS-AF Arbitrase Bilateral Inklusif Berkelanjutan menawarkan implikasi transformatif di ranah akademis, praktis, dan diplomasi hukum-budaya. Pendekatan ini tidak hanya memformalkan mekanisme penyelesaian sengketa, tetapi juga memadukan prinsip keberlanjutan dan inklusi sebagai fondasi tata kelola investasi bilateral.
Akademisnya, model ini menghadirkan kerangka analitis inovatif yang menautkan prinsip ESG dengan arbitrase transnasional, melampaui paradigma ICSID/UNCITRAL. Penekanan pada stakeholder engagement menciptakan ruang interdisipliner, mengintegrasikan hukum, ekonomi, dan sosiokultural, sekaligus memperluas literatur arbitrase berkelanjutan sebagai studi kasus strategis Indonesia–Tiongkok.
Hal ini membuka peluang inovatif bagi pengembangan kurikulum hukum investasi berstandar internasional, sekaligus mengokohkan posisi akademisi Indonesia dalam percaturan global.
Di ranah praktis, binding ESG clause memperkuat kepastian hukum, mitigasi risiko investasi, dan akuntabilitas sosial, sekaligus mempercepat investment facilitation melalui harmonisasi regulasi bilateral. Arbitrase yang adaptif ini meningkatkan transparansi, menurunkan potensi sengketa, dan menegaskan posisi negosiasi Indonesia sebagai negara dengan kerangka investasi modern yang responsif terhadap dinamika global.
Secara diplomatik, ICS-AF menjadi instrumen soft power hukum dan budaya: mengintegrasikan kearifan lokal dengan praktik internasional, menegaskan kredibilitas Indonesia dalam pengaturan standar ESG regional.
Legal harmonization mendorong integrasi praktik terbaik ASEAN, menegaskan kepastian hukum sambil membangun hubungan bilateral yang inklusif dan berkelanjutan.
Implementasi ICS-AF bukan sekadar mekanisme penyelesaian sengketa, tetapi platform inovatif bagi pengembangan SDM global-ready, riset interdisipliner, dan diplomasi hukum-budaya. Model ini menegaskan Indonesia sebagai pionir arbitrase investasi berkelanjutan di Asia Tenggara, memadukan hukum, budaya, dan ekonomi menjadi fondasi kolaborasi bilateral jangka panjang yang resilien, inklusif, dan visioner.
Dengan demikian, ICS-AF tidak hanya menjadi instrumen legal, tetapi juga katalisator pertumbuhan ekonomi yang etis, diplomasi cerdas, dan inovasi kebijakan publik.
Penutup
Merumuskan model arbitrase bilateral Indonesia–Tiongkok yang inklusif dan berkelanjutan bukan sekadar upaya normatif; ia merupakan kebutuhan strategis untuk menghadapi kompleksitas investasi lintas negara, risiko hukum, dan tuntutan keberlanjutan.
Melalui ICS-AF (Inclusive & Sustainable Arbitration Framework) yang mengintegrasikan binding ESG clause serta mekanisme stakeholder engagement, arbitrase bertransformasi menjadi instrumen proaktif: tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menegakkan prinsip keadilan distributif, tanggung jawab sosial, dan harmonisasi regulasi.
Pendekatan ini menegaskan bahwa kepastian hukum, perlindungan lingkungan, dan inklusi sosial merupakan fondasi bagi investasi yang resilient dan berkelanjutan. Benchmark praktik regional seperti SIAC dan LCIA meningkatkan legitimasi dan efektivitas arbitrase, sekaligus memperkuat daya tarik investasi bilateral.
Model ini membuka ruang bagi harmonisasi hukum regional dan inovasi mekanisme arbitrase yang adaptif terhadap dinamika global, menjembatani kepentingan negara, investor, dan masyarakat. Dengan demikian, ICS-AF bukan sekadar kerangka prosedural, melainkan paradigma baru yang menyatukan dimensi akademis, praktis, dan diplomasi hukum-budaya, sekaligus memperkokoh kepercayaan investor, memfasilitasi aliran modal berkelanjutan, dan menegaskan posisi Indonesia sebagai aktor hukum-ekonomi progresif di kancah internasional.
Dengan fondasi ini, arbitrase investasi bilateral dapat berfungsi sebagai katalisator transformasi hukum dan ekonomi, sekaligus memperkuat sinergi budaya dan diplomasi Indonesia–Tiongkok. Merancang kerangka ICS-AF adalah langkah visioner yang tidak hanya menjawab tantangan masa kini, tetapi juga menetapkan standar bagi penyelesaian sengketa investasi yang inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi masa depan.
Dengan merumuskan ICS-AF (Inclusive & Sustainable Arbitration Framework) yang mengintegrasikan binding ESG clause dan partisipasi pemangku kepentingan, Indonesia dan Tiongkok tidak sekadar menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa; mereka menetapkan standar baru arbitrase investasi yang inklusif, berkelanjutan, dan visioner. Kerangka ini menegaskan bahwa kepastian hukum, tanggung jawab sosial-lingkungan, dan keadilan distributif bukan sekadar ideal, tetapi instrumen strategis untuk memperkuat kepercayaan investor, memfasilitasi aliran modal berkelanjutan, dan memperkokoh sinergi hukum–budaya bilateral. ICS-AF hadir sebagai katalisator transformasi hukum-ekonomi yang progresif, menjembatani kepentingan negara, investor, dan masyarakat, sekaligus menegaskan posisi Indonesia sebagai pelopor arbitrase inovatif di kancah internasional—mewujudkan visi investasi bilateral yang tidak hanya produktif, tetapi juga adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- 
Dharmasisya. (2022, Juli). Urgensi perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan negara lain dengan klausula penyelesaian sengketa investor-state dispute settlement. Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Laura Natalia Sembiring. https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1145&context=dharmasisya 
- 
Putri, R. R., Chandrawulan, A.-A., & Amalia, P. (2018, Januari 7). Peringkat arus investasi Indonesia dalam kerangka ASEAN-China Free Trade Agreement (perbandingan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam) ditinjau dari prinsip fair and equitable treatment. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(2), Article 3. https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1240&context=jhp 
- 
ResearchGate. (2023). Dampak hukum perjanjian investasi bilateral terhadap ekonomi Indonesia: Kasus Indonesia dengan Tiongkok dalam Bilateral Economic and Trade Cooperation (BETC). https://www.researchgate.net/publication/387645339_Dampak_Hukum_Perjanjian_Investasi_Bilateral_terhadap_Ekonomi_Indonesia_Kasus_Indonesia_dengan_Tiongkok_dalam_Bilateral_Economic_and_Trade_Cooperation_BETC 
- 
Quddus, M. S. (2025, Mei). Analisis konvergensi hukum ekonomi internasional: Tantangan hukum bagi Indonesia dalam mengharmonisasikan kepentingan BRICS dan ASEAN. Equality: Journal of Law and Justice, 2(1), 62–88. https://jurnal.sinesia.id/index.php/Equality-JLJ/article/download/264/73 
- 
Singh, R., & Winanti, A. (2023, Oktober). Penerapan hukum Tiongkok dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional: Studi kasus pada perjanjian kontrak antar-negara. Civilia: Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(5). https://jurnal.anfa.co.id/index.php/civilia/article/download/1374/1320/4134 
- 
Widyoningrum, R. R. (2023, Juni). Penyelesaian sengketa investasi asing melalui mekanisme arbitrase internasional (Studi kasus: Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia). Student Research Journal, 1(3), 274–291. https://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/srj/article/download/339/345 
- 
Yuliansyah, R., Lestari, T., & Muhti, S. (n.d.). Perbandingan hukum penanaman modal dan investasi di Indonesia dan di Tiongkok. Aktivisme: Jurnal Hukum. https://journal.appihi.or.id/index.php/Aktivisme/article/view/350 
- 
Zulkifli, A. (2023, Juni). Diplomasi triangular China terhadap Indonesia dalam mengantisipasi dilema Malaka melalui Belt Road Initiative. The Journalish Social and Government, 4(2), 173–. https://www.researchgate.net/publication/372485580_DIPLOMASI_TRIANGULAR_CHINA_TERHADAP_INDONESIA_DALAM_MENGANTISIPASI_DILEMA_MALAKA_MELALUI_BELT_ROAD_INITIATIVE 
 
								