Ditulis oleh: Muhammad Haris
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa
Pendahuluan
Hubungan Indonesia–Tiongkok telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, ditandai dengan peningkatan perdagangan dan investasi yang signifikan. Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dengan nilai perdagangan mencapai USD 127,8 miliar pada 2024 (BPS, 2025). Di sisi investasi, Tiongkok menempati posisi kedua terbesar dengan realisasi investasi USD 7,4 miliar sepanjang 2024 (BKPM, 2025).
Namun, peningkatan hubungan ekonomi ini belum sepenuhnya diimbangi dengan kerangka hukum dan kelembagaan yang memadai untuk menjamin keberlanjutan serta keadilan investasi bagi kedua belah pihak. Mekanisme yang ada, seperti Bilateral Investment Treaty (BIT), dinilai terlalu menekankan perlindungan investor tanpa memberikan ruang yang cukup bagi negara tuan rumah untuk melindungi kepentingan publiknya.
Kondisi ini menuntut Indonesia dan Tiongkok untuk menata ulang kerangka fasilitasi investasi dengan pendekatan yang lebih seimbang, adaptif, dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Salah satu desain yang ditawarkan adalah skema Reciprocal Investment Facilitation Agreement (RIFA).
Desain Skema RIFA
RIFA merupakan instrumen hukum internasional yang berfokus pada fasilitasi, bukan proteksi semata. Tujuan utamanya adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui transparansi, penyederhanaan prosedur, serta penguatan kapasitas kelembagaan di kedua negara.
Skema ini didesain dengan tiga pilar utama:
-
Transparansi dan Digitalisasi
Melalui pembangunan digital single window yang memungkinkan investor dari kedua negara mengakses informasi regulasi, prosedur perizinan, serta insentif investasi secara real-time dan terintegrasi. -
Simplifikasi Prosedur dan Kepastian Hukum
RIFA mendorong harmonisasi standar perizinan, penyederhanaan birokrasi, dan penguatan kepastian hukum bagi investor, tanpa mengurangi kewenangan negara tuan rumah dalam mengatur kepentingan publik. -
Capacity Building dan Kerja Sama Teknis
Meliputi program pelatihan, pertukaran pejabat, serta penguatan lembaga fasilitasi investasi di kedua negara untuk memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan.
(Gambar 1. Tiga Pilar RIFA: Transparansi, Simplifikasi, Capacity Building)
Studi Kasus Sektor Strategis
Implementasi RIFA dapat diuji coba pada sektor-sektor strategis yang menjadi fokus investasi bilateral, seperti:
-
Energi terbarukan: pengembangan PLTS, PLTB, dan bioenergi, yang membutuhkan kepastian regulasi serta akses teknologi.
-
Industri manufaktur berteknologi tinggi: seperti kendaraan listrik dan semikonduktor, yang memerlukan ekosistem inovasi dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
-
Pertanian modern: termasuk pengolahan hasil pertanian berbasis ekspor, yang membutuhkan standar keamanan pangan dan sertifikasi internasional.
Roadmap Implementasi
-
Jangka Pendek (1–2 tahun)
-
Pembentukan joint task force Indonesia–Tiongkok untuk merumuskan draf RIFA.
-
Uji coba digital single window pada sektor energi terbarukan.
-
-
Jangka Menengah (3–5 tahun)
-
Implementasi penuh RIFA di sektor prioritas.
-
Program capacity building bagi lembaga fasilitasi investasi.
-
-
Jangka Panjang (5–10 tahun)
-
Ekspansi RIFA ke sektor lain.
-
Integrasi RIFA dengan kerangka regional seperti ASEAN–China FTA.
-
Analisis Risiko dan Mitigasi
-
Risiko Kepentingan Asimetris: mitigasi dengan mekanisme konsultasi reguler dan keterlibatan masyarakat sipil.
-
Risiko Kapasitas Institusional: mitigasi dengan program pelatihan berkelanjutan dan dukungan teknis.
-
Risiko Teknologi dan Keamanan Data: mitigasi dengan standar keamanan siber internasional serta perjanjian perlindungan data.
Kesimpulan
RIFA menawarkan paradigma baru dalam hubungan investasi bilateral Indonesia–Tiongkok, dengan menekankan fasilitasi dan pembangunan kapasitas, bukan proteksi sepihak. Skema ini sejalan dengan kebutuhan kedua negara untuk menciptakan hubungan investasi yang lebih seimbang, berkelanjutan, dan adaptif terhadap dinamika global. Implementasi RIFA tidak hanya akan memperkuat daya tarik investasi, tetapi juga memastikan bahwa manfaatnya dapat dirasakan secara adil oleh masyarakat di kedua negara.
Daftar Referensi
Jurnal
-
Du, M. (2022). Explaining China’s Approach to Investor-State Dispute Settlement Reform: A Contextual Perspective. European Law Journal, 28(4–6), 281–303.
-
Price, D. (2017). Indonesia’s Bold Strategy on Bilateral Investment Treaties: Seeking an Equitable Climate for Investment? Asian Journal of International Law, 7(1), 124–151.
-
Singh, R., & Winanti, A. B. (2023). Penerapan Hukum Tiongkok dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional: Studi Kasus pada Perjanjian Kontrak Antar-Negara. Civilia: Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(5), 245–260.
-
Widyoningrum, R. R. (2023). Penyelesaian Sengketa Investasi Asing melalui Mekanisme Arbitrase Internasional (Studi Kasus: Rafat Ali Rizvi vs Republik Indonesia). Student Research Journal, 1(3), 274–291.
Website
-
Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2024. https://www.bps.go.id
-
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2025). Laporan Realisasi Investasi Triwulan IV 2024. https://www.bkpm.go.id
-
ResearchGate. (2023). Dampak Hukum Perjanjian Investasi Bilateral terhadap Ekonomi Indonesia: Kasus Indonesia dengan Tiongkok. https://www.researchgate.net
-
World Bank. (2024). Indonesia Economic Prospects: Enhancing Global Value Chain Participation. https://www.worldbank.org