Ditulis oleh: Kristianus Jimy Pratama
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional
Transformasi Digital dalam Lanskap Ekonomi Regional
Digitalisasi ekonomi bukan lagi sekadar fenomena, melainkan kekuatan struktural yang membentuk ulang arsitektur perdagangan dan keuangan global. Perbankan digital, yang semula dipandang sebagai pelengkap, kini berfungsi sebagai instrumen utama dalam mempercepat transaksi lintas batas. Dalam konteks Indonesia–Tiongkok, transformasi ini sangat relevan. Nilai perdagangan kedua negara pada 2024 mencapai 135,17 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menurut data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, sementara realisasi investasi Tiongkok di Indonesia tercatat sebesar 8,1 miliar dolar AS menurut data Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia. Besarnya arus barang, modal, dan jasa ini menuntut dukungan sistem pembayaran yang lebih efisien, aman, dan berorientasi masa depan.
Perkembangan domestik di kedua negara memperlihatkan dinamika yang berbeda namun saling melengkapi. Bank Indonesia melaporkan transaksi digital banking nasional tumbuh 54,89 persen secara year on year (YoY) pada 2024 dengan nilai mencapai 63.433 triliun rupiah. Di Tiongkok, People’s Bank of China mencatat transaksi pembayaran digital menembus 51 triliun dolar AS, dengan tingkat penetrasi 87 persen di kawasan urban. Perbedaan tingkat kematangan ekosistem ini membuka peluang kerja sama strategis. Indonesia memiliki potensi pasar yang luas dan ruang pertumbuhan besar, sedangkan Tiongkok membawa modal, pengalaman, dan teknologi yang dapat dipadukan.
Efisiensi Ekonomi dan Perluasan Inklusi
Salah satu dampak paling nyata dari integrasi digital banking adalah peningkatan efisiensi transaksi lintas negara. Sistem pembayaran konvensional berbasis bank koresponden menambah biaya dan memperlambat penyelesaian transaksi. Sebaliknya, mekanisme pembayaran digital dapat memangkas biaya hingga sepertiga, sebagaimana dibuktikan oleh pengalaman QRIS Cross-Border antara Indonesia dan negara-negara ASEAN. Ketika model serupa diperluas ke Tiongkok, dampaknya akan lebih besar. Lebih jauh, digital banking juga memperkuat inklusi keuangan. Meski tingkat inklusi keuangan
Indonesia sudah mencapai 92,74 persen, tingkat literasi baru berada di sekitar 66,46 persen.
Kesenjangan ini berarti akses belum selalu berujung pada pemanfaatan optimal. Dengan digital banking, UMKM Indonesia dapat mengakses pasar Tiongkok dengan hambatan pembayaran yang lebih rendah, sekaligus memperluas basis konsumen. Dari sisi makroekonomi, Bank Dunia memperkirakan peningkatan adopsi digital banking dapat mendorong pertumbuhan PDB Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa digital banking bukan sekadar sarana transaksi, tetapi instrumen pembangunan nasional yang berdampak nyata pada pertumbuhan.
Regulasi dan Kepastian Hukum
Kemajuan teknologi finansial mendorong kebutuhan akan kepastian hukum yang lebih kokoh dan selaras lintas yurisdiksi. Di Indonesia, tonggak penting telah diletakkan melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Regulasi ini memberi payung hukum bagi pengelolaan data konsumen, menegaskan hak atas privasi, dan membentuk dasar akuntabilitas bagi penyelenggara sistem elektronik. Sementara itu, Tiongkok melangkah lebih jauh dengan menerapkan Data Security Law dan Personal Information Protection Law pada 2021. Kedua instrumen hukum tersebut tidak hanya menekankan aspek perlindungan data, tetapi juga menegaskan dominasi negara dalam mengendalikan arus data lintas batas. Dengan perbedaan filosofi ini, muncul tantangan ketika kontrak digital melibatkan entitas dari kedua negara yang tunduk pada kerangka hukum berbeda.
Persoalan sengketa yurisdiksi menjadi semakin menonjol. Bayangkan sebuah kontrak elektronik antara perusahaan fintech asal Indonesia yang melayani konsumen di Tiongkok. Jika terjadi perselisihan, hukum mana yang akan berlaku yaitu hukum Indonesia sebagai negara asal penyedia layanan, atau hukum Tiongkok sebagai negara tempat konsumen berdomisili? Ketidakpastian semacam ini dapat menurunkan minat investor, memperlambat inovasi, dan menghambat adopsi teknologi baru. Oleh sebab itu, selain regulasi domestik, diperlukan instrumen hukum lintas negara yang memberikan kepastian dan perlindungan setara (Bradford, 2024).
Isu pencucian uang dan pendanaan terorisme juga menambah kerumitan. Standar global yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF) memang menjadi acuan, namun implementasi nasional berbeda-beda. Tiongkok cenderung menggunakan sistem pengawasan yang terpusat dan agresif dalam mengawasi transaksi mencurigakan, sedangkan Indonesia masih memperkuat infrastruktur pelaporan berbasis teknologi untuk mencapai efektivitas serupa. Tanpa harmonisasi standar AML/CTF, ekosistem digital banking berpotensi dimanfaatkan oleh aktor kriminal lintas batas yang memanfaatkan celah regulasi (Khan et al., 2025; Kirkpatrick, 2021).
Solusi yang dapat diambil bukanlah sekadar penyusunan peraturan baru yang terpisah, melainkan penciptaan mekanisme pengakuan bersama. Kerja sama regulasi melalui bentuk mutual recognition agreement antara otoritas terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia di satu sisi, serta People’s Bank of China di sisi lain dapat menjadi jalan tengah yang realistis. Dengan adanya mekanisme ini, kontrak elektronik yang dibuat di salah satu negara akan diakui secara hukum di negara mitra, mekanisme penyelesaian sengketa bisa diperjelas, dan perlindungan konsumen dapat diberikan secara setara.
Lebih jauh lagi, kerja sama hukum tidak boleh berhenti pada ranah formal regulasi, melainkan juga perlu menyentuh aspek operasional. Pertukaran data kasus, kolaborasi dalam investigasi lintas batas, hingga pembentukan protokol bersama untuk penanganan sengketa digital harus menjadi bagian dari agenda. Praktik di Uni Eropa melalui General Data Protection Regulation (GDPR) dapat menjadi inspirasi, meski harus disesuaikan dengan karakteristik hukum Indonesia dan Tiongkok. Kesepakatan GDPR di kawasan Eropa membuktikan bahwa standar hukum bersama dapat meningkatkan kepercayaan konsumen, memperkuat posisi tawar pelaku usaha, serta memberikan kerangka stabil bagi investasi lintas negara.
Dengan demikian, kepastian hukum dalam integrasi digital banking tidak semata mata soal keseragaman regulasi, tetapi soal membangun kepercayaan. Regulasi yang harmonis, mekanisme sengketa yang jelas, serta perlindungan konsumen yang setara akan menciptakan ekosistem digital yang aman sekaligus kondusif bagi investasi. Tanpa itu, teknologi digital hanya akan menghasilkan efisiensi jangka pendek, tetapi berisiko menciptakan kerentanan jangka panjang bagi hubungan ekonomi bilateral.
Infrastruktur Teknologi dan Keamanan Sistem
Di balik janji efisiensi digital banking, terdapat kerentanan sistemik yang tidak bisa diabaikan. Bank Indonesia melaporkan adanya peningkatan serangan siber terhadap sistem pembayaran sebesar 36 persen pada 2024. Angka ini menunjukkan bahwa semakin kompleks ekosistem digital, semakin tinggi pula eksposur risiko yang harus dihadapi. Ketika sistem keuangan Indonesia dan Tiongkok diintegrasikan, risiko tersebut berpotensi meningkat berlipat ganda. Integrasi tanpa standar keamanan kolektif berisiko membuka celah yang dapat dimanfaatkan aktor kriminal, baik individu, kelompok terorganisir, maupun bahkan negara.
Penggunaan teknologi blockchain dapat menjadi salah satu solusi penting karena sifatnya yang terdistribusi dan tahan manipulasi. Dengan catatan transaksi yang imutabel, potensi kecurangan dapat ditekan secara signifikan. Namun, blockchain juga membutuhkan infrastruktur komputasi yang besar serta standar interoperabilitas agar sistem di Indonesia dan Tiongkok dapat saling terhubung dengan mulus. Kecerdasan buatan (AI) menambah lapisan perlindungan lain, terutama dalam deteksi pola anomali (Pazouki et al., 2025). Sistem AI dapat mengenali transaksi tidak wajar secara real time, memberikan peringatan dini sebelum kerugian meluas. Tetapi efektivitas AI sangat bergantung pada ketersediaan big data lintas negara, yang pada gilirannya menuntut kesepakatan mengenai akses, tata kelola, dan perlindungan data.
Teknologi secanggih apapun tidak bisa bekerja dalam ruang kosong. Regulasi teknis yang jelas dan standar keamanan yang disepakati menjadi prasyarat mutlak. Inilah alasan mengapa pembentukan gugus tugas keamanan siber bersama antara Indonesia dan Tiongkok menjadi agenda yang tidak bisa ditunda. Gugus tugas ini harus bersifat operasional, bukan sekadar forum diskusi, dengan mandat untuk bertukar informasi ancaman secara cepat, menyusun standar teknis yang kompatibel, dan melakukan respons terkoordinasi ketika terjadi serangan lintas batas. Keberadaan gugus tugas akan meningkatkan kapasitas kolektif kedua negara dalam melindungi kedaulatan ekonomi digital. Pengalaman internasional menunjukkan relevansi langkah ini. Uni Eropa, misalnya, melalui European Union Agency for Cybersecurity (ENISA) telah berhasil membangun protokol bersama yang mengatur respons insiden lintas negara. Kolaborasi serupa juga muncul dalam inisiatif G20 yang menekankan pentingnya cyber resilience dalam sistem pembayaran global. Indonesia dan Tiongkok dapat mengambil inspirasi dari praktik ini, namun tetap menyesuaikan dengan kebutuhan domestik masing-masing.
Selain aspek teknis, kesiapan institusional juga menjadi kunci. Bank sentral, otoritas jasa keuangan, dan badan keamanan siber di kedua negara harus dilibatkan sejak awal. Tidak cukup jika sektor perbankan atau fintech bekerja sendiri (Larsson et al., 2024; Barroso & Laborda, 2022) perlu pendekatan lintas sektor yang melibatkan regulator, aparat keamanan, serta industri teknologi. Dengan demikian, ekosistem yang dibangun bukan hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga kokoh dalam menghadapi ancaman. Jika langkah-langkah ini dijalankan, maka integrasi digital banking antara Indonesia dan Tiongkok tidak akan menjadi sumber kerentanan baru, melainkan sebuah instrumen yang memperkuat stabilitas sistem keuangan. Infrastruktur yang tangguh akan memastikan bahwa efisiensi dan inovasi dapat berjalan seiring dengan keamanan dan kepercayaan publik.
Agenda Implementasi Integrasi Digital Banking
Peta jalan integrasi digital banking antara Indonesia dan Tiongkok tidak cukup jika hanya dibangun di atas perjanjian formal atau pembentukan forum koordinasi. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kedua negara menata fondasi regulasi, menyiapkan instrumen pembiayaan yang inklusif, mengembangkan teknologi bersama, dan menumbuhkan kultur berbagi data untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
Langkah pertama yang perlu ditata adalah penyelarasan regulasi. Harmonisasi perlindungan data, mekanisme anti pencucian uang, dan pengakuan kontrak elektronik harus dilakukan secara gradual melalui kerangka kerja yang fleksibel, bukan melalui birokrasi yang kaku. Regulasi dapat diuji lebih dahulu dalam proyek percontohan
terbatas, misalnya integrasi sistem pembayaran lintas batas di sektor pariwisata atau UMKM ekspor tertentu. Melalui pendekatan bertahap ini, risiko dapat dikendalikan, sementara pengalaman praktis menjadi dasar perbaikan regulasi ke depan.
Setelah fondasi regulasi mulai sejalan, fokus perlu diarahkan pada dukungan nyata bagi pelaku usaha. Mekanisme pembiayaan digital bilateral yang dirancang untuk UMKM akan menjadi titik awal yang kuat. Dengan sistem ini, pelaku usaha kecil tidak hanya diberi akses pembiayaan murah, tetapi juga dipermudah dalam melakukan transaksi langsung ke konsumen atau mitra di Tiongkok. Implementasi dapat dimulai dari komoditas unggulan, misalnya produk agrikultur, perikanan, dan kerajinan. Sehingga
sistem diuji pada sektor riil yang memiliki kontribusi langsung pada perdagangan bilateral.
Seiring berjalannya waktu, integrasi teknologi harus mulai diperkuat. Blockchain dapat digunakan untuk verifikasi transaksi lintas negara secara aman, sedangkan kecerdasan buatan dimanfaatkan untuk mengawasi pola transaksi yang mencurigakan secara real time. Kedua teknologi ini dapat diterapkan tidak sekaligus, tetapi dimulai dari segmen transaksi bernilai kecil yang berisiko rendah. Setelah mekanisme terbukti stabil, cakupan diperluas ke transaksi bernilai besar seperti pembiayaan infrastruktur atau perdagangan komoditas strategis.
Visi jangka panjang yang perlu diarahkan adalah terciptanya ekosistem data bersama yang memungkinkan pengawasan lintas negara secara real time. Pembangunan dashboard statistik yang mengintegrasikan data transaksi digital, arus investasi, dan indikator risiko akan memberi otoritas di kedua negara landasan kuat untuk mengambil keputusan berbasis bukti. Dashboard semacam ini bukan hanya alat teknis, tetapi sekaligus simbol kepercayaan. Jika kedua negara berani berbagi data sensitif secara terbatas namun terjamin, maka integrasi digital banking akan berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh.
Agenda ini menuntut lebih dari sekadar struktur kelembagaan. Ia memerlukan eksperimen regulasi yang terukur, dukungan konkret untuk pelaku usaha, adopsi teknologi dengan strategi bertahap, serta keberanian untuk membangun ekosistem data bersama. Dengan pendekatan semacam ini, integrasi digital banking Indonesia–Tiongkok bukan hanya retorika kerja sama, melainkan agenda strategis yang berorientasi pada hasil nyata dan berjangka panjang.
Kesimpulan
Digital banking telah bergerak melampaui fungsinya sebagai instrumen transaksi; ia kini menjadi fondasi strategis dalam hubungan ekonomi internasional. Integrasi digital banking Indonesia–Tiongkok bukan hanya menawarkan efisiensi, tetapi juga peluang harmonisasi hukum, transfer teknologi, dan penguatan inklusi keuangan. Namun, peluang ini hanya dapat terwujud jika regulasi lintas yurisdiksi diselaraskan, investasi diarahkan secara visioner, infrastruktur teknologi diperkuat, dan transparansi data dijamin. Tanpa itu, digital banking justru dapat menjadi sumber kerentanan baru. Dengan langkah implementatif yang konsisten, integrasi digital banking dapat menjadi tonggak baru
dalam diplomasi ekonomi Indonesia–Tiongkok. Lebih dari itu, keberhasilan integrasi ini akan menempatkan kedua negara sebagai aktor penting dalam membentuk arsitektur keuangan digital Asia yang lebih inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- Barroso, M., & Laborda, J. (2022). Digital Transformation and the Emergence of the Fintech Sector: Systematic Literature Review, Digital Business, 2(2), 1-18. https://doi.org/10.1016/j.digbus.2022.100028
- Bradford, A. (2024). The False Choice Between Digital Regulation and Innovation. Northwestern University Law Review, 119(2), 377-453. https://scholarlycommons.law.northwestern.edu/nulr/vol119/iss2/3
- Kirkpatrick, K., Stephens, A., Gerber, J., Nettesheim, M., & Bellm, S. (2021), Understanding Regulatory Trends: Digital Assets & Anti-Money Laundering, Journal of Investment Compliance, 22(4), 345-353. https://doi.org/10.1108/JOIC 07-2021-0033
- Khan, A., Jillani, M.A.H.S., Ullah, M., & Khan, M. (2025). Regulatory Strategies for Combatting Money Laundering in the Era of Digital Trade. Journal of Money Laundering Control, 28(2), 408-423. https://doi.org/10.1108/JMLC-07-2024-0113
- Larsson, B., Rolandsson, B., Ilsoe, A., Larsen, T.P., Lehr, A., & Masso, J. (2024). Digital Disruption Divesified: FinTechs and the Emergence of a Coopetitive Market Ecosystem. Socio-Economic Review, 22(2), 655-675. https://doi.org/10.1093/ser/mwad046
- Pazouki, S., Jamshidi, M., Jalali, M., & Tafreshi, A. (2025). Artificial Intelligence and Digital Technologies in Finance: A Comprehensive Review. Journal of Economics, Finance & Accounting Studies, 7(2), 54-69. https://doi.org/ 10.32996/jefas.2025.7.2.5