Karpet Merah Berduri: Paradoks Kepastian Hukum dan Risiko Investasi Tiongkok di Indonesia

Ditulis oleh: Nayaka Aria Maulana Cahyadi
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa

 

Kemitraan Strategis di Persimpangan Jalan

Hubungan Indonesia–Tiongkok hari ini ibarat dua sahabat lama yang kembali akrab setelah lama berseteru. Nilai perdagangan bilateral mencapai USD 127,8 miliar pada 2024 (BPS, 2025), sementara realisasi investasi Tiongkok menembus USD 7,4 miliar (BKPM, 2025). Data ini menegaskan posisi Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar sekaligus investor asing kedua terbesar di Indonesia.

Namun, di balik angka-angka itu, terdapat paradoks. Pemerintah Indonesia membuka karpet merah untuk investor Tiongkok melalui kebijakan pro-investasi seperti UU Cipta Kerja. Tetapi di saat yang sama, ketidakpastian regulasi, tarik-menarik kepentingan elit, serta praktik rente justru menghadirkan “duri” yang bisa menghambat investasi itu sendiri.


Negara, Rente, dan Aliansi Elit

Teori rent-seeking menjelaskan bagaimana kebijakan publik kerap dimonopoli kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok (Krueger, 1974). Dalam konteks investasi Tiongkok, pemerintah pusat mendorong percepatan investasi, sementara di tingkat daerah sering muncul resistensi karena isu lingkungan, tenaga kerja, dan distribusi keuntungan.

Aliansi elit politik dan bisnis kerap membentuk lingkaran eksklusif yang menikmati manfaat investasi, sementara masyarakat lokal justru menghadapi beban sosial-ekologis. Fenomena ini menimbulkan kesenjangan antara retorika kebijakan dan realitas lapangan.


Ketidakpastian Hukum

Ketidakpastian hukum menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko investasi di Indonesia. Reformasi hukum melalui UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menyederhanakan regulasi, tetapi dalam praktiknya menimbulkan paradoks.

Tabel 1. Paradoks UU Cipta Kerja dalam Investasi

Aspek Tujuan UU Cipta Kerja Realitas di Lapangan
Perizinan Penyederhanaan dan OSS Masih ada tumpang tindih kewenangan pusat-daerah
Ketenagakerjaan Fleksibilitas pasar tenaga kerja Muncul protes buruh karena dianggap mengurangi hak pekerja
Lingkungan Penyederhanaan AMDAL untuk percepatan investasi Menimbulkan risiko degradasi lingkungan
Kepastian Hukum Harmonisasi regulasi Sering terjadi perubahan aturan mendadak, menambah ketidakpastian

Paradoks ini membuat investor menghadapi dilema: di satu sisi regulasi tampak ramah investasi, tetapi di sisi lain implementasinya justru menimbulkan ketidakpastian.


Titik Didih Konflik: Studi Kasus Industri Nikel Morowali

Industri nikel di Morowali menjadi laboratorium nyata paradoks investasi. Proyek smelter yang didominasi investor Tiongkok memang mendorong hilirisasi dan ekspor nikel bernilai tambah. Namun, di balik itu muncul konflik sosial, seperti kecelakaan kerja yang menewaskan pekerja lokal, isu diskriminasi upah, serta kerusakan lingkungan akibat limbah.

Konflik ini menunjukkan rapuhnya tata kelola investasi. Masyarakat lokal kerap merasa terpinggirkan, sementara pemerintah pusat dan investor asing lebih fokus pada target makroekonomi.


Paradoks Hijau dan Degradasi Lingkungan

Investasi Tiongkok di Indonesia sering dibungkus dengan narasi hijau (green investment), misalnya pada industri baterai kendaraan listrik. Namun, praktik di lapangan menunjukkan paradoks: demi mendukung transisi energi global, justru terjadi degradasi lingkungan lokal.

Eksploitasi nikel dalam skala besar menimbulkan kerusakan ekosistem, pencemaran laut, hingga hilangnya mata pencaharian nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi hijau tidak otomatis ramah lingkungan jika tidak diawasi dengan ketat.


Kesimpulan

Karpet merah bagi investasi Tiongkok di Indonesia ternyata penuh duri. Ketidakpastian hukum, praktik rente, konflik sosial, dan paradoks lingkungan menjadi tantangan serius. Jika tidak diatasi, investasi yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru bisa menjadi sumber ketimpangan dan kerusakan.

Indonesia perlu menegakkan kepastian hukum yang konsisten, memperkuat tata kelola lingkungan, serta memastikan distribusi manfaat yang adil bagi masyarakat lokal. Tanpa itu, karpet merah investasi hanya akan menjadi simbol paradoks: indah dipandang, tetapi menyakitkan ketika dilalui.


Daftar Pustaka

  • Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2025). Laporan Realisasi Investasi Triwulan IV 2024. Jakarta: BKPM.

  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2024. Jakarta: BPS.

  • Krueger, A. O. (1974). The Political Economy of the Rent-Seeking Society. The American Economic Review, 64(3), 291–303.

  • Nugroho, H. (2022). Politik Rente di Indonesia: Antara Investasi dan Kepentingan Elit. Jurnal Politik Indonesia, 8(2), 134–150.

  • Suryawan, I. B. (2023). Ketidakpastian Hukum dalam Implementasi UU Cipta Kerja. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 53(1), 45–67.

  • Tempo.co. (2023, 5 Januari). 3 Fakta Terkait Kecelakaan Kerja di Smelter Morowali. https://nasional.tempo.co/read/1676020/3-fakta-terkait-kecelakaan-kerja-di-smelter-morowali

  • Walhi. (2023). Laporan Tahunan: Dampak Industri Nikel terhadap Lingkungan dan Sosial. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.