Formulating an Indonesia–China Bilateral Green Investment Agreement: Strengthening Sustainable Development and Market Resilience Amid the EU Deforestation Regulation

Ditulis oleh: Juan Matheus, S.H., CCD., CPCD.
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional

 

PENDAHULUAN 

Pengesahan European Union Deforestation Regulation (“EUDR”) oleh Uni Eropa  menimbulkan dinamika baru dalam perdagangan internasional. EUDR mewajibkan setiap  pelaku usaha yang mengekspor komoditas kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, kayu,  dan turunannya ke Uni Eropa untuk membuktikan bahwa produk tersebut bebas dari  unsur deforestasi sesuai standar keberlanjutan yang ketat dengan melakukan due  diligence berbasis bukti geolokasi hingga ke petak lahan produksi (Permatasari et al.,  2024). Hal ini dilakukan oleh Uni Eropa dengan dalih memastikan legalitas dan status  “deforestation-free” atas produk yang akan masuk ke wilayah mereka. Pihak Uni Eropa  bahkan akan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha asal Indonesia hingga 4% dari  omzet mereka di Uni Eropa jika tidak mematuhinya (Abnett, 2025). Meskipun bertujuan  mulia menjaga kelestarian lingkungan, EUDR menghadirkan tantangan besar bagi negara eksportir komoditas seperti Indonesia yang memiliki jutaan petani kecil, rantai  pasok yang kompleks, dan keterbatasan teknologi traceability

Dalam perspektif politik hukum perdagangan internasional, keberlakuan EUDR tidak semata harus dipandang sebagai hambatan, melainkan juga sebagai peluang  strategis untuk melakukan reposisi pasar sekaligus diversifikasi tujuan ekspor.  Langkah tersebut dapat diartikulasikan sebagai strategi mitigasi risiko pasar, penguatan  keberlanjutan, serta memperluas akses ke pasar alternatif melalui kemitraan dagang  dengan mitra strategis di luar Uni Eropa yang memiliki kebutuhan tinggi atas komoditas  pertanian dan kehutanan, salah satunya adalah Tiongkok. Berdasarkan laporan World  Economic Forum, pada periode 2023–2024 Tiongkok secara konsisten menjadi mitra  dagang terbesar Indonesia dengan estimasi nilai perdagangan bilateral tahun 2023  mencapai sekitar US$139–140 miliar (Suradiredja et al., 2025).  

Tren ini berlanjut pada 2024, di mana hubungan dagang kedua negara tetap  menonjol, seiring dengan meningkatnya realisasi penanaman modal Tiongkok (termasuk  Hong Kong) di Indonesia. Investasi tersebut terkonsentrasi pada sektor-sektor strategis 

seperti hilirisasi nikel, pembangunan smelter, industri elektronik, hingga infrastruktur  pendukung. Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa pada 2024 total  realisasi investasi Indonesia mencapai Rp1.714 triliun, dengan kontribusi signifikan  berasal dari investor Tiongkok (Kementerian Investasi/BKPM Republik Indonesia,  2025). Kapasitas ekonomi Tiongkok yang besar, dipadukan dengan orientasi investasi  jangka panjang serta kedekatan dalam kerja sama strategis jelas dapat menjadikan  Tiongkok bukan hanya mitra dagang utama tetapi juga mitra kolaboratif potensial  bagi Indonesia, khususnya dalam menghadapi regulasi EUDR

Berkaca daripada uraian di atas, Penulis akan menganalisis dampak EUDR bagi  Indonesia secara komprehensif dan upaya yang dapat diambil oleh Pemerintah  Indonesia untuk menghadapi EUDR dengan memperkuat sinergi hukum dan investasi  bilateral antara Indonesia dan Tiongkok. 

 

PEMBAHASAN

A. Analisis Dampak EUDR bagi Indonesia 

  1. Aspek Hukum 

Tantangan hukum terkait penerapan EUDR bagi Indonesia tidak dapat  dipandang sederhana. Pertama, EUDR menimbulkan persoalan  extraterritoriality karena Uni Eropa menerapkan standar domestiknya pada  negara produsen di luar wilayahnya, yang berpotensi bertentangan dengan  prinsip kedaulatan negara sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB. Kedua,  dari perspektif hukum perdagangan internasional, EUDR berpotensi  melanggar asas non-discrimination dalam GATT, khususnya Most  Favoured Nation Principle dan National Treatment Principle. Ketiga, di  tingkat domestik, muncul tantangan dalam menyesuaikan aturan nasional  dan sertifikasi berkelanjutan dengan standar EUDR, yang dapat menimbulkan  ketidakpastian hukum terutama bagi pelaku usaha domestik khususnya  petani kecil. Keempat, aspek penegakan hukum juga menjadi kendala,  karena mekanisme audit dan verifikasi bebas deforestasi membutuhkan  instrumen hukum yang selaras agar tidak menimbulkan tumpang tindih  kewenangan. 

  1. Aspek Ekonomi

Kehilangan potensi pasar Uni Eropa akibat penerapan EUDR akan  menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, khususnya pada  komoditas unggulan yang selama ini menjadi penyumbang besar ekspor.  Indonesia, sebagai salah satu produsen dan pengekspor utama kelapa sawit, kopi,  dan kayu, diproyeksikan menanggung kerugian cukup besar dengan estimasi  total mencapai miliaran dolar AS (Hasna, 2025). Kerugian terbesar diperkirakan  berasal dari sektor lemak nabati, khususnya minyak sawit, dengan potensi  penurunan ekspor hingga US$3,15 miliar. Sektor karet juga terdampak  signifikan dengan estimasi kerugian sekitar US$0,93 miliar, diikuti oleh  komoditas kayu senilai US$0,39 miliar, kopi dan teh sebesar US$0,37 miliar,  serta kertas dan karton sekitar US$0,3 miliar (Rasbin, 2023). Angka-angka ini  menunjukkan bahwa EUDR bukan sekadar hambatan teknis perdagangan,  melainkan ancaman terhadap daya saing komoditas strategis Indonesia di pasar  global. 

  1. Aspek Sosial-Budaya 

EUDR berdampak langsung pada petani kecil yang menjadi tulang  punggung produksi komoditas ekspor. Apabila pelaku usaha Indonesia tidak  dapat memenuhi standar EUDR, maka jelas berisiko mengurangi pendapatan,  memicu pengangguran, dan mengganggu stabilitas sosial ekonomi di  pedesaan. Selain itu, banyak kearifan lokal dalam pengelolaan lahan yang  sebenarnya ramah lingkungan namun belum diakui secara formal dalam  mekanisme sertifikasi global. 

B. Indonesia–China Bilateral Green Investment Agreement Sebagai Upaya Memperkuat Sinergi Hukum dan Investasi Bilateral 

Penerapan EUDR telah menciptakan dinamika baru dalam hubungan  perdagangan internasional, khususnya bagi Indonesia sebagai salah satu produsen  utama kelapa sawit, kopi, karet, dan kayu. Regulasi ini secara langsung membatasi  akses produk Indonesia ke pasar Uni Eropa dengan mensyaratkan standar  ketertelusuran rantai pasok bebas deforestasi. Di balik tantangan tersebut, muncul  peluang strategis bagi Indonesia untuk memperkuat kemitraan dengan negara  mitra non-Uni Eropa, khususnya Tiongkok. Formulasi Indonesia–China 

Bilateral Green Investment Agreement menjadi instrumen penting untuk  membangun kerangka hukum yang lebih adaptif terhadap perubahan pasar  global sekaligus memperkokoh ketahanan ekonomi Indonesia. Hal ini relevan  mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia dan memiliki  kepentingan besar dalam pasokan energi terbarukan serta bahan baku industri yang  ramah lingkungan. 

Indonesia–China Bilateral Green Investment Agreement memberikan ruang  bagi kedua negara untuk menyusun standar yang lebih proporsional, adil, dan sejalan  dengan kebutuhan pembangunan nasional. Berbeda dengan pendekatan unilateral  Uni Eropa yang bersifat extraterritorial yang hanya mengedepankan kepentingan  ekologisnya sendiri, Indonesia dan Tiongkok dapat membangun rezim hukum  investasi hijau berbasis asas mutual benefit dan kesetaraan (sovereign equality).  Perjanjian ini dapat memuat klausul kepastian hukum bagi investor, mekanisme  penyelesaian sengketa yang transparan, serta insentif hukum bagi perusahaan yang  berkomitmen menerapkan teknologi hijau. Hal ini sejalan dengan gagasan hukum  progresif Satjipto Rahardjo yang menyatakan hukum harus diciptakan dan dijalankan  secara dinamis untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan perubahan global (Rahardjo, 2008), bukan sekadar menjadi instrumen kekuasaan pihak dominan.

C. Implementasi Bilateral Green Investment Agreement dalam Perspektif Ekonomi

Dari perspektif ekonomi, penerapan EUDR diperkirakan menimbulkan potensi  kerugian miliaran dolar bagi Indonesia, khususnya di sektor kelapa sawit, karet, kopi,  dan kayu. Hambatan ini bukan hanya terkait biaya tambahan untuk memenuhi  standar ketertelusuran, tetapi juga risiko berkurangnya daya saing ekspor akibat  meningkatnya compliance cost yang sulit dipenuhi terutama oleh petani kecil. Dalam kondisi demikian, memformulasikan Bilateral Green Investment Agreement dengan Tiongkok menjadi strategi untuk meminimalisasi risiko  ketergantungan pada pasar Uni Eropa dan memperluas diversifikasi pasar. Dengan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, perjanjian ini dapat  membuka ruang lebih besar bagi masuknya investasi hijau yang memperkuat daya  tahan pasar serta mengurangi risiko gejolak ekonomi akibat regulasi sepihak.

Selain mengurangi kerugian akibat pasar yang lebih sempit di Eropa, perjanjian  ini juga dapat menciptakan economic spillover effect yang signifikan. Investasi  Tiongkok di bidang teknologi hijau, energi terbarukan, dan infrastruktur  berkelanjutan akan menghasilkan multiplier effect terhadap sektor lain, mulai dari  peningkatan produktivitas pertanian hingga penguatan rantai pasok industri hijau.  Indonesia dapat mengarahkan investasi tersebut untuk mendukung pembangunan  infrastruktur digital sertifikasi hijau berbasis blockchain yang menjamin  ketertelusuran produk tanpa membebani petani kecil dengan biaya tambahan. Hal ini  tidak hanya menguntungkan dari sisi efisiensi, tetapi juga memperkuat posisi tawar  Indonesia di pasar global yang semakin menuntut transparansi rantai pasok. Tiongkok, sebagai konsumen utama produk perkebunan dan energi di Asia,  menawarkan pasar alternatif yang besar dan dinamis. Dengan adanya kepastian  investasi hijau, Indonesia dapat mengurangi export concentration risk yang selama  ini terkonsentrasi pada pasar Uni Eropa. Diversifikasi pasar melalui kerja sama ini  juga akan menekan risiko fluktuasi harga global, sehingga stabilitas ekonomi  domestik lebih terjaga.

D. Bentuk Inklusivitas dan Keadilan Substantif Bagi Pelaku Usaha Domestik

Salah satu isu krusial dalam menghadapi EUDR adalah memastikan bahwa  kebijakan perdagangan dan investasi yang dirancang tidak menimbulkan  ketidakadilan struktural, khususnya bagi pelaku usaha domestik berskala kecil dan  menengah. Penerapan standar ketertelusuran rantai pasok bebas deforestasi menuntut  biaya tinggi untuk sertifikasi, sistem audit, dan akses teknologi yang dalam  praktiknya sulit dijangkau petani kecil. Jika regulasi hanya berfokus pada kepatuhan  korporasi besar, maka akan terjadi exclusionary effect di mana pelaku usaha kecil  kehilangan akses pasar internasional sehingga formulasi Indonesia–China Bilateral  Green Investment Agreement perlu dirancang dengan prinsip inklusivitas, yang  memuat poin-poin krusial, antara lain:

  1. Capacity building clause, pembiayaan dari skema investasi hijau mewajibkan  investor Tiongkok bersama pemerintah Indonesia menyediakan pelatihan,  transfer teknologi, serta akses pendanaan murah bagi petani kecil dan UMKM.
  2. Fair participation clause, terdapat jaminan bahwa petani kecil dan UMKM  mendapatkan kesempatan yang setara dalam rantai pasok ekspor, bukan sekadar  menjadi penyedia bahan mentah dengan nilai tambah rendah. 
  3. Cross-subsidy mechanism, perusahaan besar yang memperoleh insentif  investasi diwajibkan menyisihkan sebagian keuntungan untuk mendukung biaya  sertifikasi hijau bagi petani kecil. 

Dari perspektif filsafat hukum, desain ini selaras dengan gagasan keadilan  substantif yang melampaui kesetaraan formal (formal equality). Sebagaimana  ditegaskan John Rawls dalam teori justice as fairness (Rawls, 1971), keadilan yang  sejati bukan berarti semua orang diperlakukan sama, tetapi memberikan perlakuan  khusus yang proporsional bagi kelompok rentan agar mereka dapat berpartisipasi  secara adil dalam sistem ekonomi. Dengan demikian, perjanjian bilateral ini tidak  hanya berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai efisiensi ekonomi dan  kepastian hukum investasi, tetapi juga sebagai sarana distribusi manfaat  ekonomi yang lebih merata dan bermartabat. Jika prinsip-prinsip inklusif ini  mampu dilembagakan, maka Indonesia–China Bilateral Green Investment  Agreement dapat menjadi model “green justice agreement”, yakni perjanjian  investasi hijau yang tidak hanya menjaga kepentingan negara dan korporasi, tetapi  juga menegakkan nilai keadilan substantif bagi masyarakat kecil sebagai tulang  punggung produksi komoditas berkelanjutan di Indonesia.

E. Mendukung Sustainable Development Goals 

Formulasi Indonesia–China Bilateral Green Investment Agreement tidak  semata-mata dipandang sebagai strategi ekonomi untuk memperluas pasar dan  menarik investasi berkelanjutan, melainkan juga sebagai instrumen hukum yang  memiliki daya ikat dalam memperkuat posisi Indonesia dalam tata kelola global.  Dalam konteks hukum internasional ekonomi, perjanjian bilateral ini berfungsi  sebagai lex specialis yang mampu memberikan kepastian hukum bagi para investor  sekaligus mengatur standar keberlanjutan yang selaras dengan prinsip pembangunan  berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sustainable Development Goals). Lebih jauh, keberadaan perjanjian ini dapat  menjadi counter balance terhadap EUDR. Oleh karena itu, perjanjian ini bukan 

hanya alat untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, tetapi juga instrumen  hukum strategis yang menempatkan Indonesia dalam posisi tawar lebih kuat dalam  arsitektur tata kelola global, khususnya dalam isu-isu perdagangan hijau,  keberlanjutan, dan keadilan ekonomi internasional. 

 

PENUTUP 

Penerapan EUDR menghadirkan tantangan serius bagi Indonesia, baik dalam aspek  hukum, ekonomi, maupun sosial. Dari sisi hukum, EUDR jelas berpotensi melanggar asas non-discrimination. Dari sisi ekonomi, regulasi ini diproyeksikan merugikan Indonesia  miliaran dolar AS melalui penurunan ekspor komoditas utama. Sementara itu, dari sisi  sosial-budaya, keberlakuan EUDR berpotensi menekan kehidupan jutaan petani kecil  yang kesulitan memenuhi standar ketertelusuran rantai pasok. Namun, EUDR membuka  peluang strategis bagi Indonesia untuk melakukan reposisi pasar dan memperkuat  kemitraan dengan Tiongkok melalui formulasi Indonesia–China Bilateral Green  Investment Agreement.  

Sebagai instrumen memperkuat sinergi hukum dan investasi bilateral, Indonesia– China Bilateral Green Investment Agreement dapat menciptakan kepastian berusaha,  mendorong transfer teknologi hijau, dan membuka akses pasar alternatif di tengah  keterbatasan akibat EUDR. Lebih lanjut, perjanjian ini dapat mengurangi transaction cost akibat ketidakpastian regulasi, serta mengintegrasikan nilai kepastian, keadilan, dan  kemanfaatan. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia dapat menyusun klausul yang  mengdepankan perlindungan terhadap petani kecil, mekanisme pembiayaan hijau  yang inklusif, dan adopsi teknologi ramah lingkungan menjadi bagian penting  untuk mewujudkan keadilan substantif yang bermartabat. 

Berkaca daripada uraian dalam tulisan ini, Penulis memandang bahwa momentum  formulasi perjanjian ini dapat menjadi tonggak penting bagi Indonesia dalam  mengarahkan investasi hijau sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan EUDR. Formulasi Indonesia–China Bilateral Green Investment Agreement dapat berfungsi  sebagai counter balance terhadap EUDR, memperkuat daya tahan pasar Indonesia,  serta menegaskan legitimasi dan memberikan posisi tawar lebih kuat bagi Indonesia  dengan berdiri sebagai rule-maker dalam tata kelola investasi hijau bukan hanya  sekadar rule-taker.

 

DAFTAR PUSTAKA 

  • Abnett, K. (2025). Eleven countries demand EU weakens deforestation law further,  document shows. Reuters. https://www.reuters.com/sustainability/climate energy/eleven-countries-demand-eu-weakens-deforestation-law-further-document shows-2025-05-26/?utm_source=chatgpt.com 
  • Kementerian Investasi/BKPM Republik Indonesia. (2025). Serap 2,4 Juta Tenaga Kerja,  Kinerja Investasi Capai Rp 1.714 T. Kementerian Investasi/BKPM Republik  Indonesia. https://www.bkpm.go.id/id/info/siaran-pers/serap-2-4-juta-tenaga-kerja kinerja-investasi-capai-rp-1-714-t 
  • Permatasari, A. P., Fauziyah, D., Afian, F. A. N. S., Nisa, S. C., & Fetra, T. (2024).  Membangun Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Aturan Bebas Deforestasi Uni  Eropa Melalui Perbaikan Tata Kelola dan Kemitraan yang Inklusif
  • Rahardjo, S. (2008). Membedah Hukum Progresif (3rd ed.). Kompas. Rasbin. (2023). DAMPAK UU ANTI DEFORESTASI UNI EROPA TERHADAP  EKSPOR INDONESIA. In Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press. 
  • Suradiredja, D., Algamar, R., & Zhu, C. (2025). Strengthening Indonesia China Palm Oil  Trade with Sustainable Practices.