Ditulis oleh: Fasiha Putri Untsa
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional
Selama lebih dari satu dekade, Tiongkok telah menjadi mitra dagang dan investor utama Indonesia. Data terbaru menunjukkan nilai perdagangan kedua negara melonjak dari hanya USD 1,18 miliar pada 1990 menjadi USD 135 miliar pada 2024 (Custer et al., 2025; Xinhua, 2025), menjadikan Tiongkok sebagai tujuan ekspor terbesar Indonesia selama sembilan tahun berturut-turut sekaligus pemasok utama barang impor selama lima belas tahun terakhir (BPS, 2025a; Zhou, 2024). Dari sisi investasi, aliran modal Tiongkok juga semakin masif, dari tahun 2000-2023, Indonesia menerima sekitar USD 69,6 miliar pembiayaan dari Tiongkok untuk lebih dari 400 proyek pembangunan (Custer et al., 2025). Sementara di tahun 2024, realisasi investasi langsung Tiongkok mencapai USD 8,1 miliar melalui lebih dari 21 ribu proyek (BPS, 2025b).
Dominasi ini tidak hanya tercermin dalam angka perdagangan dan investasi yang terus meningkat, tetapi juga dalam arah pembangunan strategis nasional. Dari kawasan industri nikel di Sulawesi hingga proyek-proyek infrastruktur berskala besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), jejak investasi Tiongkok kini membentuk wajah baru perekonomian dan ruang kota Indonesia. modal Tiongkok mengalir tidak hanya ke sektor fisik seperti energi, pertambangan, dan transportasi, tetapi juga ke infrastruktur digital (Antara News, 2025; Komdigi RI, 2024), menjadikannya aktor penting dalam mengkapitalisasi cadangan sumber daya strategis dan mendorong industrialisasi cepat.
Namun, di balik skala investasi yang menjajikan, riset terbaru justru menemukan paradoks atau kontradiksi lain yang lebih komplek (Jiaying & Xinyue, 2025; Rakhmat & Purnama, 2023, 2025). Di satu sisi, investasi diproyeksikan mendukung keberlanjutan dan transisi energi (Isfandari & Mustasya, 2025). Di sisi lain, muncul potret masalah serius seperti ketergantungan pada batubara (Celios, 2023), pembengkakan biaya proyek
(Khoiriyah, 2023), serta konflik sosial-ekologis di tingkat lokal (Greenpeace, 2025). Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara narasi pembangunan hijau dengan realitas hukum dan tata kelola di lapangan. Lantas muncul pertanyaan: sejauh mana hukum Indonesia mampu memastikan bahwa investasi asing, khususnya Tiongkok, benar-benar mendukung pembangunan kota yang adil dan berkelanjutan, yang bukan sekadar mengejar profit dan percepatan pembangunan?
Sebagai salah satu komoditas strategis dunia, nikel kini menempatkan Indonesia pada posisi dominan di pasar global. Dalam satu dekade terakhir, industri ini berkembang pesat hingga menjadikan Indonesia produsen nikel terbersar, dengan menguasai sekitar 60% dari total produksi global pada 2024 (Tempo, 2025a). Pertumbuhan tersebut
didorong oleh ekspansi kawasan industri berbasis modal Tiongkok, seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara, dengan nilai investasi lebih dari USD 34 miliar (Custer et al., 2025; Fadilah, 2025). Kedua kawasan ini menjadi episentrum hilirisasi nikel yang diproyeksikn sebagai bagian penting dari rantai pasok global baterai kendaran listrik.
Meski demikian, capaian besar ini justru menyimpan banyak persoalan. Narasi “green nickel” yang dipromosikan sebagai pilar transisi energi global ternyata bertolak belakang dengan praktik di lapangan. Kajian dari Center for Economic and Law Studies (2025; 2023) mencatat bahwa hampir seluruh operasi smelter di kawasan industri tersbeut masih ditopang oleh listrik dari PLTU captive berbahan bakar batubara dengan kapasitas sekitar 7,7 GW, yang mayoritas dibangun perusahaan Tiongkok. Ketergantungan hilirisasi nikel terhadap batubara semakin diperparah dengan adanya celah regulasi. Perpres No.112/2022 yang semestinya mempercepat energi terbarukan justru memberi pengecualian legal bagi PLTU captive industri dengan alasan mendukung hilirisasi mineral. Akibatnya, pembangunan PLTU captive terus berjalan meski bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement (UU No. 16/2016) (Gaffar et al., 2024; Prasetiyo et al., 2023).
Dampak dari kebijakan ini nyata dan berlapis. Greenpeace (2025) melaporkan bahwa kapasitas PLTU captive di Indonesia telah mencapai 22,6 GW dengan rencana penambahan 20GW lagi dalam tujuh tahun ke depan. Di Morosi, Sulawesi Tenggara, pembakaran batubara di PLTU captive mencemari lahan tambak masyarakat seluas 151 hektare (Setiawan, 2025), menurunkan kualitas air tanah, dan melepaskan zat berbahaya seperti sulfur oksida (SO2), yang mengancam kesehatan dan ekosistem perairan. Dampak sosial juga signifikan, masyarakat kehilangan akses air bersih, ruang hidup, dan mengalami konflik agraria akibat alih fungsi lahan tanpa adanya konsultasi yang memadai (Itsnaini & Alexander, 2024).
Situasi ini memperlihatkan gap hukum yang lebar. Secara normative, Indonesia memiliki instrument hukum seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta target ikim melalui Nationally Determined Contribution (NDC) 2030, yakni pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% secara mandiri pada tahun 2030, atau 43,2% dengan dukungan internasional (Imelda & Soejachmoen, 2023). Namun, impelementasi Perpres No. 112/2022 sangat lemah dan penuh ambiguitas (Prasetiyo et al., 2023), bahkan membuka ruang bagi kelanjutan PLTU captive hingga 2050. Sementara itu, perhitungan terbaru yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) (2025) menunukkan bahwa menghentikan PLTU lebih awal, seperti pad akasus pensisun dini PLTU Cirebon-1 (660 MW), dapat mencegah 6.370 kematian dini dan menghemat biaya kesehatan sebesar USD 4,4 miliar pada 2036-2042. Fakta ini menegaskan bahwa mempertahankan PLTU captive bukan hanya melemahkan transisi energi, tetapi juga memperbesar beban sosial, kesehatan, dan ekonomi.
Gap serupa juga terlihat di sektor infrastruktur. Proyek kereta cepat Jakarta Bandung (Whoosh) yang sejak awal digadang sebagai ikon modernisasi transportasi Indonesia sekaligus simbol eratnya kerjasama dengan Tiongkok justru menghadapi pembengkakan biaya dan persoalan tata kelola yang serius. Biaya proyek yang semula USD 5,13 miliar membengkak menjadi sekitar USD 7,27 miliar (Prasetyadi, 2023; Rakhmat & Purnama, 2023), naik hampir 40 dari setimasi awal. Proyek yang semula dijanjikan murni berbasis sekama business-to-business (B2B) pada akhirnya turut melibatkan dana APBN (Khoiriyah, 2023; Mahardika, 2023), sehingga menimbulkan perdebatan mengenai transparasi, akuntabilitasm dan risiko beban fiskal bagi negara. Selain itu, data terbaru menunjukkan bahwa operasional Whoosh menimbulkan kerugian bagi PT. Kereta Api Indonesia (KAI) sebesar Rp 1,6 triliun hingga semester I-2025. Direktur Utama KAI bahkan mengakui bahwa kondisi ini berpotensi menjadi ”bom waktu” bagi keberlanjutan keuangan perusahaan (Tempo, 2025b).
Kelemahan tata kelola proyek Whoosh memperlihatkan rapuhnya instrumen hukum dalam mengendalikan investasi asing skala besar. UU No. 17/2023 tentang Keuangan Negara menekankan bahwa setiap penggunaan dana publik harus akuntabel, dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik seharusnya memberi dasar agar pelaksanaan dan pengelolaan proyek besar dapat diakses masyarakat. Namun, dalam kasus Whoosh, proses negosiasi kontrak berlangsung tertutup dan publik tidak mendapatkan informasi utuh mengenai perubahan skema pembiayaan. Kondisi ini sesuai
dengan temuan dalam Policy Paper ”Polemik Investasi China di Indonesia” (2023) bahwa proyek infrastruktur strategis di Indonesia umumnya berjalan dengan tingkat transparasi rendah, revisi kontrak tanpa partisipasi publik, dan lemahnya mekanisme open contracting.
Polanya bukan hanya terjadi pada Whoosh, melainkan juga terlihat pada protyek infrastruktur besar lain yang dibiayai melalui kerja sama dengan Tiongkok. Sejumlah proyek jalan tol, kawasan industrim, hingga pembangkit listrik dalam kerangka Belt and Road Initiative di Indonesia juga menghadapi persoalan serupa, yakni proses pengambilan keputusan yang elitis, minim partisipasi publik, dan pengawasan lingkungan serta sosial yang lemah (Rakhmat & Purnama, 2023). Temuan ini sejalan dengan liputan independen tentang lonjakan PLTU captive untuk smelter nikel yang mempersulit target transisi energi dan akuntabilitas publik (Bimo & China Global South Project, 2024; Jong, 2023).
Kecenderungan tersebut bukan fenomena lokal Indonesia semata. Di Sri Lanka, Pelabuhan Hambantota berakhir pada skema sewa 99 tahun kepada China Merchants Port, yang sering dikutip sebagai contoh risiko utang dan tata kelola buruk dalam proyek BRI (Carrai, 2019). Di Kenya, proyek kereta standard-gauge railway (SGR) Mombasa
Nairobi memicu sengketa hukum dan isu keterbukaan dokumen. Pengadilan Banding (2020) pernah menyatakan bahwa proses pengadaannya todal sesuai hukum pengadaan (Okech, 2021). Bahkan, di Pakistan melalui proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC), juga memperlihatkan adanya pembangunan pembangkit listrik dan infrastruktur transportasi memunculkan beban utang besar serta protes masyarakat lokal akibat dampak lingkungan (Nihab, 2022).
Secara lebih luas, riset Custer, dkk. (2025) mencatat adanya lonjakan tajam hutang tersembunyi (hidden debt) dalam pembiayaan BRI, terutama melalui pinjaman bank penbangunan Tiongkok yang tidak tercata resmi dalam laporan utan ngera penerima. Fenomena ini menimbukan kerentanan fiskal, khusunya di negara-negara berkembang dengan kapasitas fiskal terbatas. Pemantauan terbaru dari Green Finance and Development Center (2025) juga menunukkan bahwa meski BRI kini mulai bergeser kearah protek-proyek yang lebih “hijau” dengan porsi investasi ekuitas yang lebih besarm risiko tata keola dan beban utang tetap menjadi isu krusial. Dengan kata lain, selama
kerangka hukum domestik masih lemah, penerapan keberlanjutan, transparansi, maupun akuntabilitas tidak akan mampu ditegakkan secara efektif.
Analisis Pramono, dkk. (2022) juga menegaskan bahwa proyek-proyek BRI cenderung menggunakan pendekatan country systems, yakni menyerahkan sepenuhnya pengawasan lingkungan dan sosial kepada hukum domestik negara tuan rumah. Pola ini menciptakan kesenjangan: di negara dengan tata kelola kuat, risiko bisa ditekan; tetapi di negara dengan kapasitas regulasi lemah seperti Indonesia, proyek BRI rentan menimbulkan pembengkakan biaya, pelanggaran tata kelola, dan kegagalan memenuhi standar keberlanjutan.
Dua kasus besar, yakni: hilirisasi nikel berbasis PLTU captive dan proyek kereta cepat Whoosh, telah menunjukkan adanya pola masalah yang sama, di mana hukum Indonesia belum mampu menjadi filter yang efektif bagi investasi asing. Artinya, kelemahan hukum domestik menjadi pintu masuk bagi risiko hidden debt, krisis tata kelola, dan ketidakadilan sosial-lingkungan yang dibawa oleh investasi besar Tiongkok. Melihat kesenjangan tersebut, jelas bahwa solusi tidak cukup berhenti pada kritik, melainkan harus diarahkan pada reformasi hukum dan tata kelola investasi.
Meski demikian, investasi asing, termasuk dari Tiongkok, tetap memiliki arti penting bagi pembangunan Indonesia. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) (2025) menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing (PMA) menyumbang hampir 50% dari total realisasi investasi nasional, dengan Tiongkok konsisten berada di tiga besar investor utama bersama Singapura dan Jepang. Investasi ini juga menyerap lebih dari 1,82 juta tenaga kerja baru pada 2023, sebagian besar di sektor manufaktur, transportasi, dan pertambangan (Anggela, 2024). Sektor energi terbarukan pun mulai mendapat aliran modal, misalnya investasi Contemporary Amperex Technology Limited (CATL) senilai USD 6 miliar untuk rantai pasok baterai kendaraan listrik di Indonesia
(Muliawati, 2025). Angka-angka ini memperlihatkan bahwa tantangan utama bukan pada hadir atau tidaknya investasi, melainkan bagaimana memastikan aliran modal besar tersebut dikelola dengan tata kelola hukum yang kuat agar sejalan dengan visi transisi energi dan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Kelemahan hukum yang berulang dalam kasus nikel maupun kereta cepat Whoosh menunjukkan perlunya penguatan kerangka hukum dan tata kelola investasi sebagai syarat utama agar modal asing, khususnya dari Tiongkok, dapat benar-benar selaras
dengan agenda pembangunan berkelanjutan Indonesia. Tanpa reformasi mendasar pada aspek regulasi, transparansi, dan standar keberlanjutan, investasi hanya akan mempercepat industrialisasi jangka pendek sambil meninggalkan beban sosial, fiskal, dan ekologis. Oleh karena itu, sejumlah langkah korektif perlu segera ditempuh agar arus modal dari Tiongkok dapat benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Pertama, reformasi regulasi energi harus menjadi prioritas. Perpres 112/2022 yang memberi pengecualian pada PLTU captive terbukti menjadi celah hukum yang justru memperpanjang ketergantungan Indonesia pada batubara. Revisi regulasi ini penting agar seluruh PLTU, termasuk yang mendukung industri nikel, masuk ke dalam rencana phase
out batubara. Dengan instrumen hukum yang lebih tegas, investasi asing akan terdorong masuk ke sektor energi terbarukan, sejalan dengan target NDC 2030 dan komitmen net zero 2060.
Kedua, dibutuhkan penerapan mekanisme keterbukaan kontrak dan pengawasan independen dalam proyek infrastruktur strategis. Kasus pembengkakan biaya Whoosh memperlihatkan bahwa ketiadaan open contracting melemahkan akuntabilitas publik. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa transparansi kontrak dapat menekan potensi pemborosan hingga 15% (Open Government Partnership, 2022). Jika diterapkan, mekanisme ini akan memperkuat posisi hukum UU No. 17/2003 dan UU No. 14/2008, serta menekan risiko fiskal dari proyek BRI.
Ketiga, Indonesia perlu mendorong lahirnya Green Investment Protocol yang mengikat investor asing pada standar keberlanjutan nasional. Protokol ini dapat mengambil inspirasi dari prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) global sekaligus disesuaikan dengan konteks domestic. Misalnya, dengan memasukkan kewajiban kontribusi pada capaian NDC 2030, pengelolaan dampak sosial-ekologis, dan partisipasi masyarakat lokal sejak tahap perencanaan. Praktik serupa telah dilakukan di forum China–Africa Cooperation (FOCAC), di mana negosiasi kolektif berbasis green standards memperkuat posisi tawar negara penerima terhadap Tiongkok (Nedopil Wang, 2025).
Pada akhirnya, hubungan Indonesia–Tiongkok dalam bidang investasi bukanlah soal menolak atau menerima, melainkan bagaimana memastikan bahwa setiap aliran modal benar-benar membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan. Jika regulasi tidak
direformasi, transparansi kontrak tidak diperkuat, dan standar hijau tidak diinstitusionalisasi, maka investasi Tiongkok hanya akan mempercepat perekonomian dalam jangka pendek dengan meninggalkan beban sosial, fiskal, dan ekologis. Sebaliknya, dengan tata kelola hukum yang lebih tegas, terbuka, dan berpihak pada kepentingan publik, investasi Tiongkok dapat menjadi mitra strategis dalam membangun kota Indonesia yang bukan hanya modern, tetapi juga adil secara sosial dan berkelanjutan secara lingkungan.
Daftar Pustaka
- Anggela, N. L. (2024, January 24). Realisasi Investasi 2023 Lampaui Target, Serap 1,8 Juta Tenaga Kerja. Ekonomi.Bisnis.Com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20240124/12/1735095/realisasi-investasi-2023- lampaui-target-serap-18-juta-tenaga-kerja
- Antara News. (2025). Indonesia dan China berkomitmen jajaki pusat inovasi AI ASEAN. Antaranews.Com. https://www.antaranews.com/berita/4735673/indonesia-dan china-berkomitmen-jajaki-pusat-inovasi-ai-asean
- Bimo, E. S., & China Global South Project. (2024). Indonesia: Captive coal power plants supporting nickel operations pose challenge to govt’s green energy goals. https://www.business-humanrights.org/pt/últimas-notícias/indonesia-china-backed captive-coal-power-industry-pose-challenge-to-govts-green-energy-goals/ BPS. (2025a). Exports and Imports of Indonesia (Issue 18).
- BPS. (2025b). Investment Realization Foreign Investment by Country (Million US$), 2024. BPS Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id/en/statistics table/2/MTg0MyMy/investment-realization-foreign-investment-by-country.html
- Carrai, M. A. (2019). China’s Malleable Sovereignty along the Belt and Road Initiative: The Case of the 99-Year Chinese Lease of Hambantota Port. International Law and Politics, 51(1061), 1–40. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3346116
- Celios. (2023). Energy Transion Polemic in Massive Development of Capve Power Coal fired Powerplant.
- CREA. (2025). Cirebon-1, Indonesia’s first coal-to-renewables milestone (Issue March). https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2025/03/EN-IDN Briefing_Cirebon-1.pdf
- Custer, S., Burgess, B., Kim, H. K., Faiz, M., Marshall, K., Mathew, D., Patrick, F., Dharma, A., Solis, J. A., Sritharan, N., Burgess, B., Kim, H. K., Krisnadi, M. F., Marshall, K., Mathew, D., Patrick, F., Saputra, D., Solis, J. A., Sritharan, N., & Custer, J. (2025). Balancing Risk and Reward: Who benefits from China’s investments in Indonesia?. (Issue June). https://docs.aiddata.org/reports/balancing-risk-and-reward/Balancing_Risk_and_Reward.pdf
- Fadilah, I. (2025, May 19). Jadi Pusat Hilirisasi Nikel, Kawasan IMIP Tarik Investasi Rp 562 T-Devisa Rp 252 T. Detik Finance. https://finance.detik.com/energi/d 7920906/jadi-pusat-hilirisasi-nikel-kawasan-imip-tarik-investasi-rp-562-t-devisa rp-252-t
- Gaffar, N. F., Yudhistira, B., Hasan, K., Wahid, K. E., Dumpa, A. A., Syafaat, A. R., Rijal, S., & Manggala, N. W. S. K. (2024). Policy Brief: Urgensi Revisi Perpres 112/2022 Pasal 3 Ayat 4b untuk Keselamatan Rakyat dan Lingkungan Indonesia. Sulawesi Tanpa Polisi. https://walhisulsel.or.id/4398-policy-brief_urgensi-revisi-perpres-112-2022-pasal-3-ayat-4b-untuk-keselamatan-rakyat-dan-lingkungan indonesia/
- Greenpeace. (2025). PLTU Captive di Sulawesi: Kemunduran Transisi Energi Indonesia. Greenpeace Indonesia. https://www.greenpeace.org/indonesia/artikel/62331/pltu captive-sulawesi/
- Imelda, H., & Soejachmoen, M. H. (2023). Mengenal Nationally Determined Contribution (NDC). In irid.or.id. https://irid.or.id/wp content/uploads/2023/06/NDC_29JUN-FINAL.pdf
- Isfandari, A., & Mustasya, T. (2025). Enhancing Indonesia’s Energy Transition Through China-Indonesia Cooperation. https://is3.cloudhost.id/dddtl/sustain/media/pdf/FINAL-Enhancing-Indonesias Energy-Transition-through-ChinaIndonesia-Cooperation_-kYrTyOo4cfJk-.pdf
- Itsnaini, F. M., & Alexander, H. B. (2024, January 10). Transisi Energi di Morowali dan Beban Kerusakan Lingkungan. Kompas. https://lestari.kompas.com/read/2024/01/10/070603486/transisi-energi-di morowali-dan-beban-kerusakan-lingkungan?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_D esktop
- Jiaying, X., & Xinyue, H. (2025). China’s Expanding Green Investments in Indonesia: A Catalyst for Energy Transition? (Issue 039). https://rsis.edu.sg/rsis publication/rsis/chinas-expanding-green-investments-in-indonesia-a-catalyst-for energy-transition/
- Jong, H. N. (2023). Captive to coal: Indonesia to burn even more fossil fuel for green tech. News Mongabay. https://news.mongabay.com/2023/08/captive-to-coal-indonesia-to-burn-even-more-fossil-fuel-for-green-tech/?utm_source=chatgpt.com Khoiriyah, R. (2023, September 19). APBN Terseret Jadi Jaminan Proyek Kereta Cepat yang Kontroversial. Bloomberg Technoz. https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/15735/apbn-terseret-jadi jaminan-proyek-kereta-cepat-yang-kontroversial
- Komdigi RI. (2024). Siaran Pers tentang RI-Tiongkok Sepakat Dalami Kerjasama Transformasi Digital dan AI. Komdigi.Go.Id. https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/siaran-pers-tentang-ri tiongkok-sepakat-dalami-kerjasama-transformasi-digital-dan-ai
- Mahardika, L. A. (2023, September 20). Utang Kereta Cepat Dijamin APBN, MTI: Batal Jadi Proyek B2B. Bisnis Indonesia. https://ekonomi.bisnis.com/read/20230920/98/1696915/utang-kereta-cepat dijamin-apbn-mti-batal-jadi-proyek-b2b
- Muliawati, F. D. (2025, June 23). Prabowo Bakal Resmikan Proyek Ekosistem Baterai EV RI Pekan Ini. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250623094633-4-643059/prabowo-bakal resmikan-proyek-ekosistem-baterai-ev-ri-pekan-ini
- Nedopil Wang, C. (2025). China Belt and Road Initiative (BRI) investment report 2025 H1. Green Finance & Development Center, February. https://doi.org/10.25904/1912/5784
- Nihab, G. (2022, December 1). Gwadar residents’ protest for rights enters day 17. Dawn. https://www.dawn.com/news/1661313/gwadar-residents-protest-for-rights-enters day-17
- Okech, A. (2021). Chinese Funded Projects and Open Governance in Kenya. Leadership and Developing Societies, 6(1), 1–5. https://doi.org/10.47697/lds.35350022 Open Government Partnership. (2022). Open Contracting Key points. https://www.opengovpartnership.org/wp-content/uploads/2019/05/Global Report_Open-Contract.pdf
- Pramono, H. A., Manessa, D. M. M., Indrawan, M., Sari, A. D., Fuad, H. A., Khasanah, N., Pratiwi, K., Siregar, R. S., Winarni, N. L., Supriatna, J., Haryanto, B., Gallagher, K. P., Ray, R., Alexander Simmons, B., & Yogaswara, H. (2022). China’s Belt and Road Initiative in Indonesia Mapping and Mitigating Environmental and Social
- Risks. 1–24. www.bu.edu/gdp
- Prasetiyo, A., Suarez, I., Parapat, J., & Amali, Z. (2023). Ambiguitas versus Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia. CREA & Trend Asia, 39. https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2023/03/CREA_Trend Asia_ID_Ambiguitas-versus-Ambisi.pdf
- Prasetyadi, K. O. (2023, April 11). Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak, Pemerintah Tambah Utang. Kompas. https://www.kompas.id/artikel/biaya-bengkak pemerintah-utang-560-milliar-dollar-as-untuk-kereta-cepat-jakarta-bandung
- Rakhmat, M. Z., & Purnama, Y. (2023). Polemik Investasi China di Indonesia: Menghindari Investasi Berkualitas Rendah dan Jebakan Utang. In Celios. https://celios.co.id/2023/policy-paper-polemik-china-menghindari-investasi berkualitas-rendah-dan-jebakan-utang/
- Rakhmat, M. Z., & Purnama, Y. (2025). Behind the Green Curtain: Unpacking Greenwashing in Indonesia’s China-Backed Investments. https://celios.co.id/greenwashing-china-investment-in-indonesia/
- RI, S. K. (2025). Kepercayaan Investor Terjaga, Realisasi Investasi Awal 2025 Capai Rp465,2 Triliun. Setkab.Go.Id. https://setkab.go.id/kepercayaan-investor-terjaga realisasi-investasi-awal-2025-capai-rp4652-triliun/
- Setiawan, D. (2025). Rencana ekspansi PLTU captive dapat menghambat target iklim Indonesia. https://ember-energy.org/app/uploads/2025/02/ID-Indonesia-RUKN 2025_14022025.pdf
- Tempo. (2025a, June 14). Ketika Indonesia Menjadi Produsen Nikel Terbesar di Pasar Global. Tempo.Co. https://www.tempo.co/ekonomi/ketika-indonesia-menjadi produsen-nikel-terbesar-di-pasar-global-1685979
- Tempo. (2025b, August 21). Penjelasan Bos KAI soal Utang Jumbo Kereta Cepat: Ini Bom Waktu. Tempo.Co. https://www.tempo.co/ekonomi/penjelasan-bos-kai-soal utang-jumbo-kereta-cepat-ini-bom-waktu-2061432
- Xinhua. (2025, January 17). Nilai perdagangan Indonesia-China naik 5,7 persen pada 2024. Indonesia Window. https://indonesiawindow.com/nilai-perdagangan indonesia-dengan-china-sepanjang-2024/
- Zhou, Q. (2024, November 11). China-Indonesia Closer Economic Ties: Trade and Investment Opportunities. China Briefing. https://www.china-briefing.com/news/china-indonesia-trade-and-investment-profile-opportunities/