Dari Profit ke Keberlanjutan, Bisakah Hukum Indonesia menjadi Filter bagi Investasi Tiongkok?

Ditulis oleh: Fasiha Putri Untsa
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional

 

Selama lebih dari satu dekade, Tiongkok telah menjadi mitra dagang dan investor  utama Indonesia. Data terbaru menunjukkan nilai perdagangan kedua negara melonjak  dari hanya USD 1,18 miliar pada 1990 menjadi USD 135 miliar pada 2024 (Custer et al.,  2025; Xinhua, 2025), menjadikan Tiongkok sebagai tujuan ekspor terbesar Indonesia  selama sembilan tahun berturut-turut sekaligus pemasok utama barang impor selama lima  belas tahun terakhir (BPS, 2025a; Zhou, 2024). Dari sisi investasi, aliran modal Tiongkok  juga semakin masif, dari tahun 2000-2023, Indonesia menerima sekitar USD 69,6 miliar  pembiayaan dari Tiongkok untuk lebih dari 400 proyek pembangunan (Custer et al.,  2025). Sementara di tahun 2024, realisasi investasi langsung Tiongkok mencapai USD  8,1 miliar melalui lebih dari 21 ribu proyek (BPS, 2025b). 

Dominasi ini tidak hanya tercermin dalam angka perdagangan dan investasi yang  terus meningkat, tetapi juga dalam arah pembangunan strategis nasional. Dari kawasan  industri nikel di Sulawesi hingga proyek-proyek infrastruktur berskala besar seperti  kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), jejak investasi Tiongkok kini membentuk wajah  baru perekonomian dan ruang kota Indonesia. modal Tiongkok mengalir tidak hanya ke  sektor fisik seperti energi, pertambangan, dan transportasi, tetapi juga ke infrastruktur  digital (Antara News, 2025; Komdigi RI, 2024), menjadikannya aktor penting dalam  mengkapitalisasi cadangan sumber daya strategis dan mendorong industrialisasi cepat.  

Namun, di balik skala investasi yang menjajikan, riset terbaru justru menemukan  paradoks atau kontradiksi lain yang lebih komplek (Jiaying & Xinyue, 2025; Rakhmat &  Purnama, 2023, 2025). Di satu sisi, investasi diproyeksikan mendukung keberlanjutan  dan transisi energi (Isfandari & Mustasya, 2025). Di sisi lain, muncul potret masalah  serius seperti ketergantungan pada batubara (Celios, 2023), pembengkakan biaya proyek 

(Khoiriyah, 2023), serta konflik sosial-ekologis di tingkat lokal (Greenpeace, 2025).  Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara narasi pembangunan hijau  dengan realitas hukum dan tata kelola di lapangan. Lantas muncul pertanyaan: sejauh  mana hukum Indonesia mampu memastikan bahwa investasi asing, khususnya Tiongkok,  benar-benar mendukung pembangunan kota yang adil dan berkelanjutan, yang bukan  sekadar mengejar profit dan percepatan pembangunan?

Sebagai salah satu komoditas strategis dunia, nikel kini menempatkan Indonesia  pada posisi dominan di pasar global. Dalam satu dekade terakhir, industri ini berkembang  pesat hingga menjadikan Indonesia produsen nikel terbersar, dengan menguasai sekitar  60% dari total produksi global pada 2024 (Tempo, 2025a). Pertumbuhan tersebut 

didorong oleh ekspansi kawasan industri berbasis modal Tiongkok, seperti Indonesia  Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial  Park (IWIP) di Maluku Utara, dengan nilai investasi lebih dari USD 34 miliar (Custer et  al., 2025; Fadilah, 2025). Kedua kawasan ini menjadi episentrum hilirisasi nikel yang  diproyeksikn sebagai bagian penting dari rantai pasok global baterai kendaran listrik. 

Meski demikian, capaian besar ini justru menyimpan banyak persoalan. Narasi  “green nickel” yang dipromosikan sebagai pilar transisi energi global ternyata bertolak belakang dengan praktik di lapangan. Kajian dari Center for Economic and Law Studies (2025; 2023) mencatat bahwa hampir seluruh operasi smelter di kawasan industri tersbeut  masih ditopang oleh listrik dari PLTU captive berbahan bakar batubara dengan kapasitas  sekitar 7,7 GW, yang mayoritas dibangun perusahaan Tiongkok. Ketergantungan  hilirisasi nikel terhadap batubara semakin diperparah dengan adanya celah regulasi.  Perpres No.112/2022 yang semestinya mempercepat energi terbarukan justru memberi pengecualian legal bagi PLTU captive industri dengan alasan mendukung hilirisasi  mineral. Akibatnya, pembangunan PLTU captive terus berjalan meski bertentangan  dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement (UU No. 16/2016) (Gaffar et al.,  2024; Prasetiyo et al., 2023).  

Dampak dari kebijakan ini nyata dan berlapis. Greenpeace (2025) melaporkan  bahwa kapasitas PLTU captive di Indonesia telah mencapai 22,6 GW dengan rencana  penambahan 20GW lagi dalam tujuh tahun ke depan. Di Morosi, Sulawesi Tenggara,  pembakaran batubara di PLTU captive mencemari lahan tambak masyarakat seluas 151  hektare (Setiawan, 2025), menurunkan kualitas air tanah, dan melepaskan zat berbahaya  seperti sulfur oksida (SO2), yang mengancam kesehatan dan ekosistem perairan. Dampak  sosial juga signifikan, masyarakat kehilangan akses air bersih, ruang hidup, dan  mengalami konflik agraria akibat alih fungsi lahan tanpa adanya konsultasi yang  memadai (Itsnaini & Alexander, 2024).  

Situasi ini memperlihatkan gap hukum yang lebar. Secara normative, Indonesia  memiliki instrument hukum seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan 

Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta target ikim melalui Nationally Determined  Contribution (NDC) 2030, yakni pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar  31,89% secara mandiri pada tahun 2030, atau 43,2% dengan dukungan internasional  (Imelda & Soejachmoen, 2023). Namun, impelementasi Perpres No. 112/2022 sangat  lemah dan penuh ambiguitas (Prasetiyo et al., 2023), bahkan membuka ruang bagi  kelanjutan PLTU captive hingga 2050. Sementara itu, perhitungan terbaru yang dilakukan  oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) (2025) menunukkan bahwa  menghentikan PLTU lebih awal, seperti pad akasus pensisun dini PLTU Cirebon-1 (660  MW), dapat mencegah 6.370 kematian dini dan menghemat biaya kesehatan sebesar USD  4,4 miliar pada 2036-2042. Fakta ini menegaskan bahwa mempertahankan PLTU captive  bukan hanya melemahkan transisi energi, tetapi juga memperbesar beban sosial,  kesehatan, dan ekonomi. 

Gap serupa juga terlihat di sektor infrastruktur. Proyek kereta cepat Jakarta Bandung (Whoosh) yang sejak awal digadang sebagai ikon modernisasi transportasi  Indonesia sekaligus simbol eratnya kerjasama dengan Tiongkok justru menghadapi  pembengkakan biaya dan persoalan tata kelola yang serius. Biaya proyek yang semula USD 5,13 miliar membengkak menjadi sekitar USD 7,27 miliar (Prasetyadi, 2023;  Rakhmat & Purnama, 2023), naik hampir 40 dari setimasi awal. Proyek yang semula  dijanjikan murni berbasis sekama business-to-business (B2B) pada akhirnya turut  melibatkan dana APBN (Khoiriyah, 2023; Mahardika, 2023), sehingga menimbulkan  perdebatan mengenai transparasi, akuntabilitasm dan risiko beban fiskal bagi negara. Selain itu, data terbaru menunjukkan bahwa operasional Whoosh menimbulkan kerugian  bagi PT. Kereta Api Indonesia (KAI) sebesar Rp 1,6 triliun hingga semester I-2025. Direktur Utama KAI bahkan mengakui bahwa kondisi ini berpotensi menjadi ”bom waktu”  bagi keberlanjutan keuangan perusahaan (Tempo, 2025b). 

Kelemahan tata kelola proyek Whoosh memperlihatkan rapuhnya instrumen  hukum dalam mengendalikan investasi asing skala besar. UU No. 17/2023 tentang  Keuangan Negara menekankan bahwa setiap penggunaan dana publik harus akuntabel,  dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik seharusnya memberi dasar  agar pelaksanaan dan pengelolaan proyek besar dapat diakses masyarakat. Namun, dalam  kasus Whoosh, proses negosiasi kontrak berlangsung tertutup dan publik tidak  mendapatkan informasi utuh mengenai perubahan skema pembiayaan. Kondisi ini sesuai 

dengan temuan dalam Policy Paper ”Polemik Investasi China di Indonesia” (2023) bahwa proyek infrastruktur strategis di Indonesia umumnya berjalan dengan tingkat  transparasi rendah, revisi kontrak tanpa partisipasi publik, dan lemahnya mekanisme open  contracting.  

Polanya bukan hanya terjadi pada Whoosh, melainkan juga terlihat pada protyek  infrastruktur besar lain yang dibiayai melalui kerja sama dengan Tiongkok. Sejumlah  proyek jalan tol, kawasan industrim, hingga pembangkit listrik dalam kerangka Belt and  Road Initiative di Indonesia juga menghadapi persoalan serupa, yakni proses  pengambilan keputusan yang elitis, minim partisipasi publik, dan pengawasan lingkungan  serta sosial yang lemah (Rakhmat & Purnama, 2023). Temuan ini sejalan dengan liputan  independen tentang lonjakan PLTU captive untuk smelter nikel yang mempersulit target  transisi energi dan akuntabilitas publik (Bimo & China Global South Project, 2024; Jong,  2023). 

Kecenderungan tersebut bukan fenomena lokal Indonesia semata. Di Sri Lanka,  Pelabuhan Hambantota berakhir pada skema sewa 99 tahun kepada China Merchants  Port, yang sering dikutip sebagai contoh risiko utang dan tata kelola buruk dalam proyek  BRI (Carrai, 2019). Di Kenya, proyek kereta standard-gauge railway (SGR) Mombasa 

Nairobi memicu sengketa hukum dan isu keterbukaan dokumen. Pengadilan Banding  (2020) pernah menyatakan bahwa proses pengadaannya todal sesuai hukum pengadaan (Okech, 2021). Bahkan, di Pakistan melalui proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC), juga memperlihatkan adanya pembangunan pembangkit listrik dan infrastruktur  transportasi memunculkan beban utang besar serta protes masyarakat lokal akibat dampak  lingkungan (Nihab, 2022). 

Secara lebih luas, riset Custer, dkk. (2025) mencatat adanya lonjakan tajam hutang  tersembunyi (hidden debt) dalam pembiayaan BRI, terutama melalui pinjaman bank  penbangunan Tiongkok yang tidak tercata resmi dalam laporan utan ngera penerima.  Fenomena ini menimbukan kerentanan fiskal, khusunya di negara-negara berkembang  dengan kapasitas fiskal terbatas. Pemantauan terbaru dari Green Finance and  Development Center (2025) juga menunukkan bahwa meski BRI kini mulai bergeser  kearah protek-proyek yang lebih “hijau” dengan porsi investasi ekuitas yang lebih besarm  risiko tata keola dan beban utang tetap menjadi isu krusial. Dengan kata lain, selama 

kerangka hukum domestik masih lemah, penerapan keberlanjutan, transparansi, maupun  akuntabilitas tidak akan mampu ditegakkan secara efektif.  

Analisis Pramono, dkk. (2022) juga menegaskan bahwa proyek-proyek BRI  cenderung menggunakan pendekatan country systems, yakni menyerahkan sepenuhnya  pengawasan lingkungan dan sosial kepada hukum domestik negara tuan rumah. Pola ini  menciptakan kesenjangan: di negara dengan tata kelola kuat, risiko bisa ditekan; tetapi di  negara dengan kapasitas regulasi lemah seperti Indonesia, proyek BRI rentan  menimbulkan pembengkakan biaya, pelanggaran tata kelola, dan kegagalan memenuhi  standar keberlanjutan. 

Dua kasus besar, yakni: hilirisasi nikel berbasis PLTU captive dan proyek kereta  cepat Whoosh, telah menunjukkan adanya pola masalah yang sama, di mana hukum  Indonesia belum mampu menjadi filter yang efektif bagi investasi asing. Artinya,  kelemahan hukum domestik menjadi pintu masuk bagi risiko hidden debt, krisis tata  kelola, dan ketidakadilan sosial-lingkungan yang dibawa oleh investasi besar Tiongkok.  Melihat kesenjangan tersebut, jelas bahwa solusi tidak cukup berhenti pada kritik,  melainkan harus diarahkan pada reformasi hukum dan tata kelola investasi.  

Meski demikian, investasi asing, termasuk dari Tiongkok, tetap memiliki arti  penting bagi pembangunan Indonesia. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) (2025) menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing (PMA) menyumbang  hampir 50% dari total realisasi investasi nasional, dengan Tiongkok konsisten berada di  tiga besar investor utama bersama Singapura dan Jepang. Investasi ini juga menyerap  lebih dari 1,82 juta tenaga kerja baru pada 2023, sebagian besar di sektor manufaktur,  transportasi, dan pertambangan (Anggela, 2024). Sektor energi terbarukan pun mulai  mendapat aliran modal, misalnya investasi Contemporary Amperex Technology Limited  (CATL) senilai USD 6 miliar untuk rantai pasok baterai kendaraan listrik di Indonesia 

(Muliawati, 2025). Angka-angka ini memperlihatkan bahwa tantangan utama bukan pada  hadir atau tidaknya investasi, melainkan bagaimana memastikan aliran modal besar  tersebut dikelola dengan tata kelola hukum yang kuat agar sejalan dengan visi transisi  energi dan pembangunan kota yang berkelanjutan. 

Kelemahan hukum yang berulang dalam kasus nikel maupun kereta cepat Whoosh  menunjukkan perlunya penguatan kerangka hukum dan tata kelola investasi sebagai  syarat utama agar modal asing, khususnya dari Tiongkok, dapat benar-benar selaras 

dengan agenda pembangunan berkelanjutan Indonesia. Tanpa reformasi mendasar pada  aspek regulasi, transparansi, dan standar keberlanjutan, investasi hanya akan  mempercepat industrialisasi jangka pendek sambil meninggalkan beban sosial, fiskal, dan  ekologis. Oleh karena itu, sejumlah langkah korektif perlu segera ditempuh agar arus  modal dari Tiongkok dapat benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang adil dan  berkelanjutan. 

Pertama, reformasi regulasi energi harus menjadi prioritas. Perpres 112/2022 yang  memberi pengecualian pada PLTU captive terbukti menjadi celah hukum yang justru  memperpanjang ketergantungan Indonesia pada batubara. Revisi regulasi ini penting agar  seluruh PLTU, termasuk yang mendukung industri nikel, masuk ke dalam rencana phase 

out batubara. Dengan instrumen hukum yang lebih tegas, investasi asing akan terdorong  masuk ke sektor energi terbarukan, sejalan dengan target NDC 2030 dan komitmen net  zero 2060. 

Kedua, dibutuhkan penerapan mekanisme keterbukaan kontrak dan pengawasan  independen dalam proyek infrastruktur strategis. Kasus pembengkakan biaya Whoosh  memperlihatkan bahwa ketiadaan open contracting melemahkan akuntabilitas publik.  Pengalaman internasional menunjukkan bahwa transparansi kontrak dapat menekan  potensi pemborosan hingga 15% (Open Government Partnership, 2022). Jika diterapkan,  mekanisme ini akan memperkuat posisi hukum UU No. 17/2003 dan UU No. 14/2008,  serta menekan risiko fiskal dari proyek BRI. 

Ketiga, Indonesia perlu mendorong lahirnya Green Investment Protocol yang  mengikat investor asing pada standar keberlanjutan nasional. Protokol ini dapat  mengambil inspirasi dari prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) global  sekaligus disesuaikan dengan konteks domestic. Misalnya, dengan memasukkan  kewajiban kontribusi pada capaian NDC 2030, pengelolaan dampak sosial-ekologis, dan  partisipasi masyarakat lokal sejak tahap perencanaan. Praktik serupa telah dilakukan di  forum China–Africa Cooperation (FOCAC), di mana negosiasi kolektif berbasis green  standards memperkuat posisi tawar negara penerima terhadap Tiongkok (Nedopil Wang,  2025). 

Pada akhirnya, hubungan Indonesia–Tiongkok dalam bidang investasi bukanlah  soal menolak atau menerima, melainkan bagaimana memastikan bahwa setiap aliran  modal benar-benar membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan. Jika regulasi tidak 

direformasi, transparansi kontrak tidak diperkuat, dan standar hijau tidak  diinstitusionalisasi, maka investasi Tiongkok hanya akan mempercepat perekonomian  dalam jangka pendek dengan meninggalkan beban sosial, fiskal, dan ekologis. Sebaliknya,  dengan tata kelola hukum yang lebih tegas, terbuka, dan berpihak pada kepentingan  publik, investasi Tiongkok dapat menjadi mitra strategis dalam membangun kota  Indonesia yang bukan hanya modern, tetapi juga adil secara sosial dan berkelanjutan  secara lingkungan.

 

Daftar Pustaka 

  • Anggela, N. L. (2024, January 24). Realisasi Investasi 2023 Lampaui Target, Serap 1,8  Juta Tenaga Kerja. Ekonomi.Bisnis.Com.  https://ekonomi.bisnis.com/read/20240124/12/1735095/realisasi-investasi-2023- lampaui-target-serap-18-juta-tenaga-kerja 
  • Antara News. (2025). Indonesia dan China berkomitmen jajaki pusat inovasi AI ASEAN.  Antaranews.Com. https://www.antaranews.com/berita/4735673/indonesia-dan china-berkomitmen-jajaki-pusat-inovasi-ai-asean 
  • Bimo, E. S., & China Global South Project. (2024). Indonesia: Captive coal power plants  supporting nickel operations pose challenge to govt’s green energy goals.  https://www.business-humanrights.org/pt/últimas-notícias/indonesia-china-backed captive-coal-power-industry-pose-challenge-to-govts-green-energy-goals/ BPS. (2025a). Exports and Imports of Indonesia (Issue 18). 
  • BPS. (2025b). Investment Realization Foreign Investment by Country (Million US$),  2024. BPS Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id/en/statistics table/2/MTg0MyMy/investment-realization-foreign-investment-by-country.html 
  • Carrai, M. A. (2019). China’s Malleable Sovereignty along the Belt and Road Initiative:  The Case of the 99-Year Chinese Lease of Hambantota Port. International Law and  Politics, 51(1061), 1–40.  https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3346116 
  • Celios. (2023). Energy Transion Polemic in Massive Development of Capve Power Coal fired Powerplant
  • CREA. (2025). Cirebon-1, Indonesia’s first coal-to-renewables milestone (Issue March).  https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2025/03/EN-IDN Briefing_Cirebon-1.pdf 
  • Custer, S., Burgess, B., Kim, H. K., Faiz, M., Marshall, K., Mathew, D., Patrick, F.,  Dharma, A., Solis, J. A., Sritharan, N., Burgess, B., Kim, H. K., Krisnadi, M. F.,  Marshall, K., Mathew, D., Patrick, F., Saputra, D., Solis, J. A., Sritharan, N., &  Custer, J. (2025). Balancing Risk and Reward: Who benefits from China’s  investments in Indonesia?. (Issue June). https://docs.aiddata.org/reports/balancing-risk-and-reward/Balancing_Risk_and_Reward.pdf
  • Fadilah, I. (2025, May 19). Jadi Pusat Hilirisasi Nikel, Kawasan IMIP Tarik Investasi Rp  562 T-Devisa Rp 252 T. Detik Finance. https://finance.detik.com/energi/d 7920906/jadi-pusat-hilirisasi-nikel-kawasan-imip-tarik-investasi-rp-562-t-devisa rp-252-t 
  • Gaffar, N. F., Yudhistira, B., Hasan, K., Wahid, K. E., Dumpa, A. A., Syafaat, A. R.,  Rijal, S., & Manggala, N. W. S. K. (2024). Policy Brief: Urgensi Revisi Perpres  112/2022 Pasal 3 Ayat 4b untuk Keselamatan Rakyat dan Lingkungan Indonesia.  Sulawesi Tanpa Polisi. https://walhisulsel.or.id/4398-policy-brief_urgensi-revisi-perpres-112-2022-pasal-3-ayat-4b-untuk-keselamatan-rakyat-dan-lingkungan indonesia/ 
  • Greenpeace. (2025). PLTU Captive di Sulawesi: Kemunduran Transisi Energi Indonesia.  Greenpeace Indonesia. https://www.greenpeace.org/indonesia/artikel/62331/pltu captive-sulawesi/ 
  • Imelda, H., & Soejachmoen, M. H. (2023). Mengenal Nationally Determined  Contribution (NDC). In irid.or.id. https://irid.or.id/wp content/uploads/2023/06/NDC_29JUN-FINAL.pdf 
  • Isfandari, A., & Mustasya, T. (2025). Enhancing Indonesia’s Energy Transition Through  China-Indonesia Cooperation.  https://is3.cloudhost.id/dddtl/sustain/media/pdf/FINAL-Enhancing-Indonesias Energy-Transition-through-ChinaIndonesia-Cooperation_-kYrTyOo4cfJk-.pdf 
  • Itsnaini, F. M., & Alexander, H. B. (2024, January 10). Transisi Energi di Morowali dan  Beban Kerusakan Lingkungan. Kompas.  https://lestari.kompas.com/read/2024/01/10/070603486/transisi-energi-di morowali-dan-beban-kerusakan-lingkungan?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_D esktop 
  • Jiaying, X., & Xinyue, H. (2025). China’s Expanding Green Investments in Indonesia: A  Catalyst for Energy Transition? (Issue 039). https://rsis.edu.sg/rsis publication/rsis/chinas-expanding-green-investments-in-indonesia-a-catalyst-for energy-transition/ 
  • Jong, H. N. (2023). Captive to coal: Indonesia to burn even more fossil fuel for green  tech. News Mongabay. https://news.mongabay.com/2023/08/captive-to-coal-indonesia-to-burn-even-more-fossil-fuel-for-green-tech/?utm_source=chatgpt.com Khoiriyah, R. (2023, September 19). APBN Terseret Jadi Jaminan Proyek Kereta Cepat  yang Kontroversial. Bloomberg Technoz.  https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/15735/apbn-terseret-jadi jaminan-proyek-kereta-cepat-yang-kontroversial 
  • Komdigi RI. (2024). Siaran Pers tentang RI-Tiongkok Sepakat Dalami Kerjasama  Transformasi Digital dan AI. Komdigi.Go.Id.  https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/siaran-pers-tentang-ri tiongkok-sepakat-dalami-kerjasama-transformasi-digital-dan-ai 
  • Mahardika, L. A. (2023, September 20). Utang Kereta Cepat Dijamin APBN, MTI: Batal  Jadi Proyek B2B. Bisnis Indonesia.  https://ekonomi.bisnis.com/read/20230920/98/1696915/utang-kereta-cepat dijamin-apbn-mti-batal-jadi-proyek-b2b 
  • Muliawati, F. D. (2025, June 23). Prabowo Bakal Resmikan Proyek Ekosistem Baterai  EV RI Pekan Ini. CNBC Indonesia.  https://www.cnbcindonesia.com/news/20250623094633-4-643059/prabowo-bakal resmikan-proyek-ekosistem-baterai-ev-ri-pekan-ini 
  • Nedopil Wang, C. (2025). China Belt and Road Initiative (BRI) investment report 2025  H1. Green Finance & Development Center, February.  https://doi.org/10.25904/1912/5784 
  • Nihab, G. (2022, December 1). Gwadar residents’ protest for rights enters day 17. Dawn.  https://www.dawn.com/news/1661313/gwadar-residents-protest-for-rights-enters day-17 
  • Okech, A. (2021). Chinese Funded Projects and Open Governance in Kenya. Leadership  and Developing Societies, 6(1), 1–5. https://doi.org/10.47697/lds.35350022 Open Government Partnership. (2022). Open Contracting Key points.  https://www.opengovpartnership.org/wp-content/uploads/2019/05/Global Report_Open-Contract.pdf 
  • Pramono, H. A., Manessa, D. M. M., Indrawan, M., Sari, A. D., Fuad, H. A., Khasanah,  N., Pratiwi, K., Siregar, R. S., Winarni, N. L., Supriatna, J., Haryanto, B., Gallagher,  K. P., Ray, R., Alexander Simmons, B., & Yogaswara, H. (2022). China’s Belt and  Road Initiative in Indonesia Mapping and Mitigating Environmental and Social 
  • Risks. 1–24. www.bu.edu/gdp 
  • Prasetiyo, A., Suarez, I., Parapat, J., & Amali, Z. (2023). Ambiguitas versus Ambisi:  Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia. CREA & Trend Asia, 39.  https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2023/03/CREA_Trend Asia_ID_Ambiguitas-versus-Ambisi.pdf 
  • Prasetyadi, K. O. (2023, April 11). Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak, Pemerintah  Tambah Utang. Kompas. https://www.kompas.id/artikel/biaya-bengkak pemerintah-utang-560-milliar-dollar-as-untuk-kereta-cepat-jakarta-bandung 
  • Rakhmat, M. Z., & Purnama, Y. (2023). Polemik Investasi China di Indonesia:  Menghindari Investasi Berkualitas Rendah dan Jebakan Utang. In Celios.  https://celios.co.id/2023/policy-paper-polemik-china-menghindari-investasi berkualitas-rendah-dan-jebakan-utang/ 
  • Rakhmat, M. Z., & Purnama, Y. (2025). Behind the Green Curtain: Unpacking  Greenwashing in Indonesia’s China-Backed Investments.  https://celios.co.id/greenwashing-china-investment-in-indonesia/ 
  • RI, S. K. (2025). Kepercayaan Investor Terjaga, Realisasi Investasi Awal 2025 Capai  Rp465,2 Triliun. Setkab.Go.Id. https://setkab.go.id/kepercayaan-investor-terjaga realisasi-investasi-awal-2025-capai-rp4652-triliun/ 
  • Setiawan, D. (2025). Rencana ekspansi PLTU captive dapat menghambat target iklim  Indonesia. https://ember-energy.org/app/uploads/2025/02/ID-Indonesia-RUKN 2025_14022025.pdf 
  • Tempo. (2025a, June 14). Ketika Indonesia Menjadi Produsen Nikel Terbesar di Pasar  Global. Tempo.Co. https://www.tempo.co/ekonomi/ketika-indonesia-menjadi produsen-nikel-terbesar-di-pasar-global-1685979 
  • Tempo. (2025b, August 21). Penjelasan Bos KAI soal Utang Jumbo Kereta Cepat: Ini  Bom Waktu. Tempo.Co. https://www.tempo.co/ekonomi/penjelasan-bos-kai-soal utang-jumbo-kereta-cepat-ini-bom-waktu-2061432 
  • Xinhua. (2025, January 17). Nilai perdagangan Indonesia-China naik 5,7 persen pada  2024. Indonesia Window. https://indonesiawindow.com/nilai-perdagangan indonesia-dengan-china-sepanjang-2024/ 
  • Zhou, Q. (2024, November 11). China-Indonesia Closer Economic Ties: Trade and  Investment Opportunities. China Briefing. https://www.china-briefing.com/news/china-indonesia-trade-and-investment-profile-opportunities/