Ditulis oleh: Fairuz Mohamad
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa
Hubungan Indonesia dan Tiongkok terus menorehkan capaian dalam sejarah dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) yang mencatat nilai perdagangan bilateral kedua negara mencapai USD 127,8 miliar pada 2024, menegaskan kembali posisi Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Di bidang investasi, Tiongkok tetap konsisten menjadi sumber utama modal asing, dengan realisasi investasi mencapai USD 7,4 miliar sepanjang tahun yang sama (BKPM, 2025), menempatkannya sebagai investor asing terbesar kedua.
Namun, di balik fantastisnya angka ekonomi ini, tersembunyi sebuah missing link yang terbilang sangat kritis yakni kolaborasi strategis jangka panjang yang membutuhkan lebih dari sekadar transaksi modal dan barang, melainkan fondasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga melek hukum dan lintas budaya.
Lebih dari 15.000 pelajar Indonesia telah menimba ilmu di Tiongkok (Kemdikbud & MOE China, 2024), mencerminkan gelombang minat dan peluang yang semakin besar. Namun, gelombang ini seringkali terbentur pada realitas kompleks perbedaan sistem hukum dan budaya yang dapat menghambat integrasi dan optimalisasi potensi sumber daya manusia. SDM yang hanya andal secara teknis namun buta hukum dan budaya berisiko menjadi penyebab konflik operasional, ketidakefisienan, dan bahkan kegagalan proyek strategis.
Oleh karena itu, tesis penulis adalah: Mengutamakan Brain Gain Diplomacy sebagai sinergi strategi hukum dan budaya yang menjadi katalisator penting untuk menciptakan SDM global-ready yang berfungsi tidak hanya sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai pembangun jembatan dan risk mitigator dalam hubungan Indonesia–Tiongkok. Esai ini akan menganalisis tantangan yang sering ditemui saat ini, merangkainya menjadi sebuah kerangka strategis integratif, dan memberikan rekomendasi kebijakan yang membangun.
Analisis Kondisi Saat Ini: Menjembatani Jurang Hukum dan Budaya
Tantangan Hukum dalam Penyiapan SDM
Kolaborasi SDM Indonesia–Tiongkok beroperasi dalam lahan hukum yang sangat kompleks. Perbedaan mendasar antara sistem hukum Indonesia, yakni Civil Law, dan Tiongkok yang menganut Socialist Law menciptakan kerumitan dalam implementasi di lapangan.
Salah satu tantangan hukum terbesar adalah perlindungan tenaga kerja. Klausul dalam kontrak kerja yang sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia seringkali berbenturan dengan praktik dan regulasi ketenagakerjaan di Tiongkok, meninggalkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang skillful dalam kerentanan hukum.
Selain itu, pemahaman yang lemah terhadap regulasi investasi menjadi penghambat besar. Banyak SDM, baik di level manajemen maupun operasional, yang tidak sepenuhnya memahami implikasi dari Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) maupun ketentuan dalam UU Cipta Kerja terkait investasi asing. Hal ini sering berujung pada miskomunikasi, pelanggaran tanpa disengaja, dan kerugian finansial.
Misalnya, ketidaktahuan terhadap prosedur penyelesaian sengketa investasi yang diamanatkan oleh BIT dapat membuat perusahaan Indonesia kehilangan posisi tawar yang vital ketika beroperasi di Tiongkok, dan sebaliknya (Price, 2017).
Tantangan Budaya dalam Kolaborasi
Jika hukum digadang-gadang sebagai tulang punggung kerja sama, maka budaya adalah nadinya. Tantangan budaya seringkali terlihat halus namun lebih dalam dampaknya.
Kesenjangan budaya yang lebar, seperti perbedaan dalam komunikasi (langsung maupun tidak langsung), konsep hierarki, dan pemahaman tentang hubungan interpersonal (guanxi di Tiongkok), menjadi penghalang signifikan. Beberapa studi cross cultural management menemukan fakta bahwa manajer Indonesia yang bekerja di perusahaan Tiongkok sering kesulitan dengan struktur hierarki yang kaku, sementara pekerja Tiongkok di Indonesia terkadang menganggap fleksibilitas lokal sebagai ketidaktertiban (Chi, 2024).
Minimnya literasi budaya ini memicu stereotip dan mispersepsi yang merusak kepercayaan dan sinergi jangka panjang. Diplomasi budaya yang selama ini sering berhenti pada pertukaran seni dan festival belum menyentuh level profound yang dibutuhkan dunia profesional, yaitu pemahaman tentang etos kerja, nilai-nilai negosiasi, dan etika bisnis masing-masing negara (Putri, 2024). Tanpa pemahaman ini, SDM unggul dari kedua negara hanya akan beroperasi dalam jalurnya masing-masing, gagal menciptakan nilai tambah yang sinergis.
Proposed Integrated Framework: Strategi Hukum & Budaya yang Sinergis
Untuk menjawab tantangan di atas, diperlukan pendekatan terintegrasi yang melibatkan pemerintah, swasta, dan akademisi. Berikut pilar strategis yang diusulkan:
Pilar 1: Strategi Hukum untuk Perlindungan dan Kepastian
-
Pembentukan Bilateral Task Force for Human Capital and Legal Assurance
Task force ini bisa dilakukan dengan gabungan antara Kemnaker RI dan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial Tiongkok. Tugasnya mereview dan menyelaraskan klausul perlindungan SDM dalam semua perjanjian bilateral yang ada. Fokusnya menciptakan modul standar kontrak untuk berbagai sektor pekerjaan yang disetujui oleh kedua yurisdiksi, sehingga memberikan kepastian dan perlindungan hukum yang setara. -
Pengembangan Platform Digital “SINO-INDO LEGAL HUB”
Sebuah platform e-learning berisi modul-modul hukum praktis dalam bahasa Indonesia dan Mandarin. Platform ini akan menjadi panduan wajib bagi SDM yang akan bekerja sama di negara mitra, mencakup hukum kontrak, hak & kewajiban pekerja, prosedur penyelesaian sengketa, dan akses bantuan hukum. Implementasinya bisa diintegrasikan dengan program pra-keberangkatan bagi pelajar dan tenaga profesional.
Pilar 2: Strategi Budaya untuk Integrasi dan Inovasi
-
Indonesia–China Cultural & Professional Immersion Program
Peserta (calon profesional, eksekutif muda) akan menjalani program immersion tidak hanya mempelajari bahasa, tetapi juga soft skills lintas budaya, simulasi negosiasi bisnis, studi kasus etika profesional, dan magang singkat di perusahaan kedua negara. Program ini menjadi investasi strategis untuk menciptakan cultural interpreters di dunia bisnis. -
Joint-Center for Indonesia–China Culture and Business Studies
Pusat penelitian dan pelatihan bersama yang didirikan di universitas terkemuka di kedua negara (misalnya UI di Jakarta dan Peking University di Beijing). Fungsinya:-
Pusat Riset: menghasilkan kajian akademis terkini tentang dinamika hukum, budaya, dan bisnis kedua negara.
-
Lembaga Sertifikasi: memberikan sertifikasi kompetensi lintas budaya dan hukum (Cross-Cultural Legal Competency Certificate) yang diakui perusahaan kedua negara.
-
Inkubator Bisnis: mempertemukan startup dan inovator muda dari Indonesia dan Tiongkok untuk berkolaborasi menciptakan solusi bisnis baru.
-
Analisis Dampak (Impact Analysis)
-
Dampak Ekonomi: SDM yang legally aware dan culturally competent akan mengurangi risiko litigasi, konflik internal, dan inefisiensi operasional. Hal ini meningkatkan profitabilitas dan daya tarik investasi, sekaligus mendorong investasi Tiongkok yang berkelanjutan dan beretika (World Bank, 2024).
-
Dampak Sosial-Budaya: Program immersion dan joint-center akan menciptakan lapisan profesional sebagai duta budaya tidak formal. Mereka membangun mutual respect dan trust yang menjadi fondasi kokoh untuk people-to-people connection.
-
Dampak Strategis: Pendekatan ini merealisasikan knowledge diplomacy. Indonesia tidak lagi dipandang hanya sebagai pasar dan sumber daya alam, tetapi sebagai mitra kontributif dalam co-creating knowledge dan SDM kelas dunia. Posisi tawar Indonesia dalam hubungan bilateral akan menguat, sekaligus membentuk ekosistem talenta global yang berkelanjutan.
Penutup
Hubungan Indonesia–Tiongkok tidak lagi berbicara soal angka, tetapi bagaimana SDM keduanya menjadi lebih unggul dengan potensi masing-masing. Selama ini, narasi yang berkembang sering terjebak pada dikotomi brain drain—kekhawatiran hilangnya talenta terbaik Indonesia ke pangsa pasar global yang lebih masif.
Namun, melalui pendekatan integratif yang mengkatalisasi sinergi hukum dan budaya, kita dapat mentransformasi narasi ini menjadi brain gain: strategi untuk mendapatkan dan mengakumulasi pengetahuan, jaringan, dan kapasitas global untuk kemajuan bangsa.
Optimalisasi SDM global tidak lagi sekadar tentang menghasilkan tenaga kerja terampil, melainkan menciptakan strategic influence dan cultural interpreters yang menjadi jembatan hidup antara dua peradaban.
Kerangka hukum yang memberikan perlindungan dan kepastian akan menciptakan ekosistem aman bagi talenta Indonesia untuk berkontribusi, sementara strategi budaya yang mendalam akan membekali mereka untuk berkembang dan memimpin di lingkungan global.
Tujuan skema ini bukan menahan laju globalisasi, tetapi mengarahkannya sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton, melainkan pemain utama yang turut membentuk masa depan. Setiap pelajar, profesional, dan peneliti Indonesia dengan bekal hukum dan kecerdasan budaya tidak lagi dilihat sebagai angka yang hilang (drain), melainkan aset strategis yang sedang menimba pengalaman dan membangun jaringan (gain).
Mereka adalah duta-duta yang akan membawa pulang pengetahuan, inovasi, dan peluang untuk membangun Indonesia yang lebih berdaya saing.
Masa depan kolaborasi Indonesia–Tiongkok bukanlah soal memagari talenta, melainkan memberdayakan mereka dengan alat yang tepat—pengetahuan hukum sebagai pelindung dan budaya sebagai pemandu. Inilah esensi sebenarnya dari brain gain: narasi optimis di mana Indonesia aktif merajut masa depannya dalam percaturan global, dengan SDM unggul, percaya diri, dan berakar pada nilai bangsa sebagai pondasi utamanya.
Daftar Pustaka
-
Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2024. Jakarta: BPS.
-
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2025). Laporan Realisasi Investasi Triwulan IV 2024. Jakarta: BKPM.
-
Chi, B., & Gu, Z. (2024). A Review of Cross-Cultural Adaptation in China-Indonesia Joint Ventures. Journal of Multidisciplinary in Humanities and Social Sciences, 7(6), 3097–3113. https://so04.tci-thaijo.org/index.php/jmhs1_s/article/view/274581
-
Du, M. (2022). Explaining China’s approach to investor-state dispute settlement reform: A contextual perspective. European Law Journal, 28(4–6), 281–303. https://doi.org/10.1111/eulj.12468
-
Price, D. (2017). Indonesia’s Bold Strategy on Bilateral Investment Treaties: Seeking an Equitable Climate for Investment? Asian Journal of International Law, 7(1), 124–151. https://doi.org/10.1017/S2044251315000247
-
Putri, F. M. (2024). A Comparative Analysis of Indonesia and China on Managing Cultural Diversity in Multinational Corporations. Open Access Library Journal, 11, e11326. https://doi.org/10.4236/oalib.1111326
-
Tuty Nur Mutia, R., & de Archellie, R. (2023). Reassessing China’s Soft Power in Indonesia: A Critical Overview on China’s Cultural Soft Power. Cogent Arts & Humanities, 10(1). https://doi.org/10.1080/23311983.2023.2178585
-
Theo, R., & Leung, M. W. H. (2018). China’s Confucius Institute in Indonesia: Mobility, Frictions and Local Surprises. Sustainability, 10(2), 530. https://doi.org/10.3390/su10020530
-
World Bank. (2024). Indonesia Economic Prospects: Enhancing Global Value Chain Participation. Washington, DC: World Bank Group.