Kebaya dan Diplomasi Budaya: Akulturasi Indonesia-Tiongkok dalam Kebaya Encim dan Lasem

Ditulis oleh: Lidwina Hana
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional

 

Di setiap jahitan dan sulaman halus busana model kebaya, tersimpan narasi panjang tentang identitas, sejarah, dan diplomasi budaya. Sebagai busana tradisional perempuan Indonesia, kebaya bukan hanya simbol estetika, tetapi juga medium komunikasi lintas budaya yang mencerminkan akulturasi antara Indonesia dan Tiongkok, khususnya dalam wujud kebaya encim dan Lasem. 

Dari simbol aristokrasi Jawa hingga menjadi ikon perempuan lintas etnis dan kelas sosial, kebaya telah mengalami transformasi yang mencerminkan dinamika budaya Indonesia. Evolusinya tidak hanya dipengaruhi oleh lokalitas, tetapi juga oleh interaksi transnasional yang kompleks. Pemakaian kebaya mencerminkan stratifikasi sosial. Bangsawan (priayi) mengenakan kebaya berkerah Kartini, sementara rakyat biasa memakai kutubaru. Tidak hanya dari model, kualitas bahan, motif batik, hingga teknik menjahit juga menjadi simbol status. Pasca reformasi, kebaya mengalami revitalisasi. Model kebaya modern mulai bermunculan, didesain ulang agar lebih fleksibel, tertutup, dan adaptif terhadap nilai-nilai kontemporer. Muncul pula kebaya muslim yang memadukan kebaya dengan kerudung dan potongan sopan (Kompas.com, 2025). 

Ketika perempuan Tionghoa di Batavia mulai mengenakan kebaya encim dengan motif bordir khas oriental, dan motif batik dari Lasem di mana memadukan motif naga dengan teknik pewarnaan lokal, kebaya menjelma menjadi ruang dialog budaya yang hidup. Dalam konteks ini, kebaya bukan sekadar warisan tekstil, melainkan artefak diplomasi budaya yang merekam jejak pertemuan antara Indonesia dan Tiongkok. Pertemuan ini tidak terjadi melalui negosiasi formal, melainkan melalui estetika, simbol, dan keseharian perempuan.

Kebaya menunjukkan fleksibilitasnya sebagai medium ekspresi budaya. Kebaya tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dengan menyerap pengaruh lintas etnis, agama, dan zaman. Kemampuannya untuk bertransformasi tanpa kehilangan identitas menjadikan kebaya bukan hanya simbol warisan, melainkan bukti ketangguhan budaya Indonesia dalam merespons arus global. 

Melalui pameran budaya, pertunjukan busana, dan kolaborasi kreatif antara desainer Indonesia dan Tiongkok, kebaya dapat menjadi medium dialog yang melampaui batas politik dan ekonomi. Varian seperti kebaya encim, dengan motif bordir oriental dan sejarah panjang perempuan Tionghoa-Betawi, serta kebaya Lasem, yang berasal dari wilayah pesisir utara Jawa Tengah, menjadi simbol konkret dari akulturasi yang harmonis. 

 

Estetika Kebaya Encim 

Salah satu pengaruh paling nyata datang dari budaya Tionghoa, yang berasimilasi dengan tradisi lokal dan melahirkan apa yang dikenal sebagai budaya Tionghoa Peranakan. Hubungan dagang antara Indonesia dan Tiongkok yang telah berlangsung sejak berabad-abad memungkinkan terjadinya migrasi dan perkawinan antarbangsa. Dari percampuran ini lahirlah komunitas Tionghoa Peranakan, yang menetap di berbagai wilayah Indonesia dan turut membentuk identitas budaya melalui warisan tekstil seperti kebaya encim, varian kebaya yang kaya akan bordir oriental dan warna- warna cerah khas Tionghoa. 

Berbeda dari kebaya Jawa yang cenderung sederhana dan formal, kebaya encim tampil lebih semarak dengan warna-warna cerah serta bordir kerancang yang rumit. Bordir ini menampilkan motif khas Tionghoa seperti bunga peoni, burung hong, dan kupu-kupu. Motif encim biasanya ditemukan pada kebaya motif batik dengan latar belakang putih atau warna terang lainnya, sehingga memberikan kesan yang bersih dan elegan. 

Istilah “encim” berasal dari dialek Hokkien yang berarti “bibi” atau “nyonya”, dan digunakan secara luas oleh komunitas Tionghoa di Batavia untuk menyapa perempuan

dewasa, khususnya yang telah menikah. Menurut Gumulya dan Octavia (2017), kata encim berasal karena mayoritas penggunanya adalah kaum perempuan Tionghoa yang telah menikah dan berumur. Sebutan ini erat dengan wanita-wanita Tionghoa peranakan dan populer di daerah-daerah pesisir yang menjadi pusat perniagaan dan pemukiman Tionghoa, seperti Batavia, kini Jakarta. Meskipun pada awalnya dikenakan oleh perempuan Tionghoa kelas atas di Batavia, seiring berjalannya waktu, keindahan dan kepraktisannya membuat kebaya encim melampaui batasan kelas. Ia bertransformasi menjadi busana yang dikenakan oleh perempuan dari berbagai latar belakang. 

 

Pesona Kebaya Lasem 

Lasem, kecamatan yang terletak di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dikenal memiliki kekayaan warisan budaya, salah satunya adalah batik Lasem yang khas. Peneliti seperti Borel, Ong Eng Die, Reid, Salmon, Wang Gong Wu, dan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Nusantara berasal dari pesisir pantai selatan Tionghoa, Fujian dan Guangdong. Kontak budaya Tionghoa Jawa meninggalkan hasil karya berupa batik pesisir utara yang terkenal dengan sebutan Batik Lasem. Perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15 (National Geographic Indonesia, 2016). 

Motif kebaya Lasem mencerminkan perpaduan estetika yang kaya akan simbolisme budaya. Dalam kebaya Lasem, ornamen seperti bunga seruni (chrysanthemum) dan naga menghadirkan kekentalan oriental yang berpadu harmonis dengan elemen khas Jawa seperti motif flora dan fauna lokal. Keanggunan kebaya ini semakin diperkuat oleh kain batik Lasem yang dikenal dengan warna-warna mencolok seperti merah, biru, dan coklat, serta pola yang kompleks. 

Motif flora dan fauna lokal Jawa yang sering muncul dalam batik Lasem antara lain bunga mawar dan melati. Selain itu, motif hewan seperti burung, kupu-kupu, danikanjuga sering ditemukan, di mana masing-masing memiliki makna simbolis tersendiri. Sebagai contoh, burung melambangkan kebebasan, sementara kupu-kupumelambangkan transformasi dan keindahan. Perpaduan motif-motif ini menunjukkan bagaimana batik Lasem tidak hanya mengadopsi pengaruh luar, tetapi juga menginternalisasi dan mengolahnya dengan kekayaan budaya lokal Jawa. 

 

Harmoni Budaya pada Kebaya 

Setiap elemen pada kebaya, mulai dari bahan hingga motif yang digunakan, seringkali menyimpan cerita panjang tentang akulturasi dan perkembangan sosial. Kebaya yang kita lihat hari ini adalah hasil dari perpaduan pengaruh budaya yang beragam, terutama di era perdagangan maritim. 

Pada abad ke-19, ketika perdagangan antara Tionghoa dan Indonesia semakinberkembang, terjadi pertukaran budaya yang signifikan. Para pedagang Tionghoa membawa seni dan budaya mereka, termasuk motif naga, ke Nusantara. Masyarakat lokal, terutama para pengrajin batik, terinspirasi oleh keindahan dan makna mendalam dari motif naga ini. Mereka mulai mengintegrasikan unsur-unsur naga ke dalam desain batik tradisional, menciptakan perpaduan yang harmonis antara dua budaya. Evolusi Batik motif ini juga dipengaruhi oleh pernikahan campuran antara orang Tionghoa dan pribumi Indonesia. Hal ini menghasilkan akulturasi budaya yang memperkaya seni batik dengan sentuhan oriental yang digunakan dalam baju kebaya. Dengan kreativitas para pengrajin, motif naga berkembang menjadi lebih variatif, menggabungkan elemen- elemen lokal seperti flora dan fauna Indonesia, sehingga menghasilkan motif batik yang unik dan penuh makna. Motif naga pun akhirnya menjadi salah satu simbol keberagaman budaya dan keragaman artistik di Indonesia (Rumah Batik Serasan, 2024). 

Kebaya dengan motif bunga seruni dan naga khas Tiongkok berpadu dengan motif flora dan fauna lokal Jawa serta teknik batik tradisional. Liong dipercaya sebagai hewan sakti dan membawa kebajikan. Selain itu juga dipercaya memiliki kekuasaan dan kekuatan, dianggap sebagai penolak kejahatan (bala), serta pemberi rezeki (Kustedja, 2013) (Williams, 2006). Harmoni ini menunjukkan bahwa perbedaan dapat menjadi sumber kekuatan dan keindahan. Kebaya menjadi sebuah narasi visual tentang sejarah interaksi budaya yang damai dan saling menghargai. 

Kebaya motif batik Oey Soe Tjoen merupakan salah satu bukti nyata dari akulturasi budaya yang harmonis antara unsur-unsur Jawa dan Tionghoa. Berdiri sejak tahun 1925 di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, rumah baju kebaya batik Oey Soe Tjoenyang didirikan oleh Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio telah genap berusia seabad (Inilah.com, 2025). 

 

Soft Diplomacy antara Indonesia-Tiongkok melalui Kebaya 

Secara historis, kebaya merupakan kebudayaan bersama, yang tidak hanya dimiliki satu negara saja. Dalam perspektif sejarah, kebaya berkembang dalam peradaban manusia, mempertemukan ragam suku bangsa dan etnis. (Media Indonesia, 2024). Kebaya encim dan Batik Lasem menunjukkan bahwa hubungan Indonesia-Tiongkok bukan hanya soal ekonomi dan politik, tetapi juga berbasis pada sejarah dan budaya yang saling terkait. 

Kebaya Encim dan Lasem menjadi simbol nyata dari akulturasi budaya yang harmonis dan dapat digunakan sebagai alat diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk memperkuat ikatan antarbangsa. Soft diplomacy merupakan strategi hubungan internasional yang tidak mengandalkan paksaan militer atau tekanan ekonomi, melainkan menggunakan daya tarik budaya suatu bangsa untuk membangun pengaruh dan reputasi baik. Tujuannya adalah untuk menarik dan meyakinkan bangsa lain agar bersimpati atau memiliki pandangan positif terhadap suatu negara. Konsep ini berasal dari teori soft power yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye, Jr tahun 1990. Kemudian, iamengembangkan konsep ini secara lebih mendalam dalam bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics yang diterbitkan pada tahun 2004. 

Dengan memperkenalkan baju kebaya ke dunia internasional merupakan langkah strategis dalam mempromosikan warisan budaya Indonesia sekaligus melestarikannya di tengah arus globalisasi. Kebaya, sebagai busana tradisional yang kaya akan nilai sejarah dan estetika, menjadi representasi nyata dari kedalaman peradaban Nusantara.Ketika kebaya tampil di panggung global, baik melalui pameran, diplomasi budaya, maupun peragaan busana, Indonesia tidak hanya menunjukkan kekayaan tradisinya, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pusat peradaban yang berpengaruh di Asia. Upaya ini memperkuat identitas nasional dan membuka ruang bagi pengakuan serta apresiasi dunia terhadap warisan budaya Indonesia. 

Kebaya encim dan lasem merepresentasi keberagaman Indonesia, ketika dikenakan dalam forum internasional, kebaya tidak hanya menampilkan keindahan busana tradisional, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang Indonesia sebagai negara yang pluralis dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Keberagaman etnis, agama, dan budaya yang terjalin dalam desain dan sejarah kebaya mencerminkan semangat inklusif yang menjadi identitas bangsa. Penampilan ini mampu membanguncitra positif Indonesia di mata dunia, sekaligus memperkuat rasa saling percaya dalam hubungan antarnegara. 

Sebagai artefak budaya yang sarat makna, kebaya memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antarbangsa dalam dialog budaya. Keanggunan dan kekayaan sejarah yang melekat pada kebaya mampu menarik perhatian dan memicu percakapan lintas budaya tentang warisan, identitas, dan nilai toleransi yang dijunjung tinggi oleh bangsaIndonesia. Dalam pameran budaya atau peragaan busana internasional, kebaya tidak hanya berfungsi sebagai busana, tetapi juga sebagai media diplomasi kultural yang membuka ruang bagi pemahaman, apresiasi, dan persahabatan antarbangsa. Melalui kebaya, dunia dapat mengenal Indonesia lebih dalam, bukan hanya dari sisi estetika, tetapi juga dari nilai-nilai yang membentuknya. 

Kebaya tidak hanya sekadar gaya atau model pakaian, melainkan juga merupakan representasi sejarah dan interaksi budaya yang kaya. Dahulu, kebaya menjadi penanda status sosial seseorang. Bahan, sulaman, dan motif yang rumit menunjukkan kekayaan dan kedudukan dalam masyarakat. Di berbagai daerah, kebaya memiliki ciri khasnya masing-masing. Kebaya encim dan kebaya Lasem adalah bukti fisik bahwa budaya Tiongkok dan budaya Indonesia dapat berinteraksi, berpadu, dan menciptakan sesuatu yang baru dan indah tanpa menghilangkan identitas aslinya.Pelestarian kebaya sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1, yang mewajibkan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. Ia berharap kebaya dapat menjadi tren global melalui kreativitas dan akulturasi, sekaligus menggerakkan ekonomi serta industri budaya (Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, 2025). 

Lewat kebaya encim dan lasem, Indonesia menunjukkan budaya Tionghoa tidak hanya diterima, tetapi telah berakar dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budayabangsa. Kehadiran kebaya Encim, misalnya, yang merupakan hasil akulturasi antara budaya Tionghoa dan tradisi lokal, menjadi bukti nyata bagaimana warisan Tionghoa dihargai dan diintegrasikan dalam identitas nasional Indonesia. Melalui kebaya, Indonesia menyampaikan pesan bahwa hubungan antar budaya dapat tumbuh dalam semangat saling menghormati dan keterbukaan. Representasi ini menjadi fondasi yang kuat dalam membangun kepercayaan dan mempererat hubungan bilateral, sekaligus memperkuat diplomasi budaya sebagai jembatan antara kedua negara. Lebih dari sekadar busana, kebaya juga menjadi isyarat halus yang menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi Tiongkok dalam membentuk identitas budaya Indonesia. Dalam konteks diplomasi, penampilan kebaya yang berakar dari perpaduan budaya ini menjadi cara elegan untuk merayakan hubungan bilateral yang telah terjalin erat, sekaligus membuka ruang bagi kolaborasi yang lebih mendalam di masa depan. 

Ketika motif-motif khas Tiongkok seperti naga, burung hong, dan bunga peoni diaplikasikan secara elegan pada kebaya, hal ini menciptakan resonansi emosional yang kuat bagi masyarakat Tiongkok. Mereka tidak hanya melihat elemen visual yang familiar, tetapi juga merasakan kedekatan budaya yang melampaui batas geografis. Kebaya menjadi medium yang menyampaikan bahwa pengaruh budaya Tiongkok tidak sekadar diadopsi, melainkan telah menyatu secara harmonis dengan tradisi lokal Indonesia, menghasilkan bentuk ekspresi baru yang indah dan bermakna. Hal ini adalah bentuk penghargaan yang halus namun mendalam, pengakuan bahwa warisan budaya Tiongkok turut memperkaya identitas Indonesia, sekaligus memperkuat ikatan kultural antara kedua bangsa.

 

Daftar Pustaka 

  • Gumulya, D., & Octavia, N. (2017). Kajian akulturasi budaya pada busana wanita CinaPeranakan. JADECS (Journal of Arts, Design, Art Education and Culture Studies), 2(1), 1–10. https://journal2.um.ac.id/index.php/dart/article/view/1011 
  • Inilah.com. (2025, July 17). Batik Oey Soe Tjoen: 100 tahun mahakarya halus dari Pekalongan, buruan kolektor dunia. https://www.inilah.com/batik-oey-soe-tjoen- 100-tahun-mahakarya-halus-dari-pekalongan-buruan-kolektor-dunia 
  • Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. (2025, August 13). Kebaya Bercerita, Kebaya sebagai Warisan Budaya Indonesia: Momentum bersama rayakan Hari Kebaya Nasional 2025. https://kemenbud.go.id/?p=66719 
  • Kompas.com. (2025, Juli 24). Sejarah kebaya: Dari busana tradisional hingga simbol perjuangan. https://www.kompas.com/jawatimur/read/2025/07/24/110000088/sejarah-kebaya-dari-busana-tradisional-hingga- simbol-perjuangan 
  • Kustedja, S., Sudikno, A., & Salura, P. (2013). Makna Ikon Naga, long , ElemenUtama Arsitektur Tradisional Tionghoa. Jurnal Sosioteknologi 30(12), 526-539. 
  • Media Indonesia. (2024, July 10). Kebaya warisan budaya bersama antar-bangsa. https://mediaindonesia.com/humaniora/684097/kebaya-warisan-budaya-bersama- antar-bangsa 
  • National Geographic Indonesia. (2016, December 8). Menyibak kisah dan filosofi di balik motif Batik Lasem. https://nationalgeographic.grid.id/read/13307142/menyibak-kisah-dan-filosofi-di- balik-motif-batik-lasem 
  • Nye, J. S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. NewYork: PublicAf airs.
  • Rumah Batik Serasan. (2024, July 25). Batik motif Liong: Perpaduan seni tradisional dengan legenda naga. https://rumahbatikserasan.com/2024/07/batik-motif-liong/ 
  • Williams, C. A. S. (2006). Chinese Symbolism and Art Motifs (Ed. 4). United States: Tuttle Publishing.