Ditulis oleh: Ratna Dhian Noventy
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional
A. Pendahuluan
Di era globalisasi, diplomasi kultural melalui soft power semakin penting. Nye (2008) menekankan bahwa pengaruh sebuah bangsa tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi, melainkan juga oleh kemampuan untuk menarik simpati melalui budaya, nilai, dan citra positif. Dalam konteks ini, film menjadi medium efektif karena sifatnya lintas bahasa dan batas, sehingga mampu menyampaikan pesan universal sekaligus membentuk persepsi publik global.
Strategi Tiongkok menjadi contoh nyata. Su (2010) menyatakan pemerintah Tiongkok menganggap industri filmnya sebagai alat penting untuk mempromosikan soft power mereka. Sejak 2003, terutama pada 2006–2008, strategi baru untuk memaksimalkan pengaruh budaya melalui film mulai diterapkan. Rizal (2024) menunjukkan bahwa industri film di negeri tersebut mengalami transformasi signifikan sejak era Hu Jintao hingga Xi Jinping, ketika pemerintah secara aktif mendorong perfilman tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga instrumen diplomasi budaya.
Ekspansi perfilman Tiongkok semakin menemukan relevansinya dalam konteks Belt and Road Initiative (BRI), di mana kebijakan budaya diposisikan sebagai instrumen strategis dalam memperluas jejaring pengaruh global. Malik (2022) menunjukkan bahwa strategi ini tidak terbatas pada diplomasi politik dan ekonomi, melainkan turut mengintegrasikan dimensi budaya melalui dua kanal utama: pertama, ekspansi waralaba makanan cepat saji asal Tiongkok sebagai medium penyebaran gaya hidup; kedua, distribusi film-film Tiongkok ke pasar internasional, khususnya di negara-negara mitra BRI. Dengan demikian, film dipandang sejajar dengan komoditas budaya lainnya, sekaligus merepresentasikan instrumen soft power yang berfungsi meneguhkan legitimasi dan memperluas daya tarik Tiongkok di ranah global.
Menerapkan model Tiongkok, Indonesia dapat memperkuat hubungan bilateral melalui kolaborasi produksi film. Dengan mendorong regulasi dan kerja sama, film bisa menjadi alat diplomasi dan penggerak ekonomi kreatif melalui distribusi internasional. Hal ini akan mempererat hubungan Indonesia–Tiongkok secara budaya, bukan hanya formal, menciptakan pengaruh jangka panjang.
B. Film sebagai Jembatan Budaya
Film memiliki kekuatan unik untuk menarasikan sejarah bersama, merepresentasikan identitas bangsa, sekaligus membentuk persepsi global. Sebagaimana dikemukakan oleh Rawnsley & Rawnsley (2010), Su (2010), dan Zhang (2010) dalam Woodland (2018), industri sinema Tiongkok tidak hanya berfokus pada penonton dalam negeri, tetapi juga memainkan peran penting dalam mengelola citra Tiongkok di mata dunia. Hal ini menunjukkan bahwa film tidak hanya sekadar produk hiburan, melainkan instrumen strategis dalam diplomasi budaya dan pengelolaan citra suatu bangsa di dunia.
- Film Kolaboratif sebagai Narasi Sejarah Bersama
Salah satu contoh potensial dalam kolaborasi Indonesia–Tiongkok adalah pengangkatan figur Laksamana Cheng Ho yang menyinggahi Nusantara pada abad ke-15. Kisah Cheng Ho relevan karena mencerminkan jejak diplomasi maritim dan hubungan historis yang relatif harmonis antara Tiongkok dan kepulauan Nusantara. Penelitian Johnson dan Anfield (2025) menemukan bahwa film tidak hanya efektif dalam memopulerkan sejarah, tetapi juga menjadi tempat di mana berbagai versi masa lalu saling bernegosiasi. Studi ini menyoroti kemampuan sinema untuk memberikan sisi kemanusiaan pada peristiwa sejarah, memperkenalkan sudut pandang yang selama ini terpinggirkan, dan mendorong pemikiran kritis terhadap memori kolektif. Pada akhirnya, film memiliki pengaruh besar terhadap cara masyarakat mengingat dan memahami sejarah mereka. Dengan demikian, film kolaboratif bertema sejarah bukan hanya menjadi sarana edukasi, tetapi juga membangkitkan rasa kepemilikan kultural pada dua bangsa.
- Film sebagai Proyeksi Citra Bangsa
Film juga berfungsi sebagai medium proyeksi citra bangsa di mata dunia. Velasco-Ferreiro et al. (2021) menegaskan bahwa sejak awal abad ke-21, film telah menjadi alat promosi pariwisata yang efektif. Sejalan dengan itu, Iwashita (2006 dalam Velasco-Ferreiroet al., 2021) menyebutkan bahwa sinema dapat memengaruhi pilihan orang dalam menentukan tujuan liburan. Studi Velasco
Ferreiro et al. (2021) menyimpulkan bahwa dengan penerapan yang tepat, pariwisata film dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang signifikan bagi destinasi.
Indonesia telah membuktikannya melalui film Laskar Pelangi pada tahun 2008 telah berdampak nyata pada pariwisata Belitung. Harefa (2020) mencatat bahwa kesuksesan film ini telah mengubah Kabupaten Belitung menjadi destinasi populer, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta mendorong pembangunan infrastruktur dan program pariwisata baru. Di sisi lain, Tiongkok menampilkan citra modernitas dan teknologi melalui The Wandering Earth
(2019). Zhang (2021) mencatat bahwa film ini meraih pendapatan global sebesar USD 4,6 miliar dan dianggap sebagai titik awal sebenarnya dari film fiksi ilmiah Tiongkok.
Jika potensi film Indonesia yang kaya nilai budaya digabungkan dengan kapasitas teknis, teknologi produksi mutakhir, serta pasar besar Tiongkok, maka kolaborasi perfilman ini dapat melahirkan kekuatan baru dalam perfilman Asia. Indonesia menyumbangkan keragaman budaya, cerita, dan lanskap, sementara Tiongkok menawarkan infrastruktur, teknologi, pendanaan, dan pasar yang luas. Kolaborasi ini dapat menghasilkan film-film berkualitas global dengan identitas Asia yang kuat, meningkatkan daya saing, dan membuka peluang pertukaran talenta. Lebih dari sekadar strategi industri, kerja sama ini juga menjadi jembatan diplomasi budaya yang memperkuat posisi Asia di panggung sinema dunia.
- Film sebagai Instrumen People-to-People Diplomacy
Selain narasi sejarah dan proyeksi citra, film juga membuka ruang bagi diplomasi antarwarga (people-to-people diplomacy). Festival film, pertukaran sineas muda, hingga beasiswa perfilman menjadi medium penting untuk memperkuat jejaring profesional sekaligus membangun rasa saling percaya. UNESCO (2021) menegaskan bahwa seluruh dunia berbagi sejarah dan warisan budaya yang sangat beragam. Warisan ini dihargai sebagai milik bersama, yang sekaligus menjadi identitas unik setiap masyarakat, mengikat mereka, dan menumbuhkan masa depan yang kaya akan budaya dan kreativitas. Hal ini menunjukkan bagaimana warisan budaya, termasuk film, menumbuhkan rasa kebersamaan lintas bangsa.
Laporan CISAC dan EY (2015) berjudul Cultural Times menunjukkan besarnya kontribusi Industri Budaya dan Kreatif (CCI): pada 2013 sektor ini menghasilkan pendapatan USD 2.250 miliar dan menciptakan 29,5 juta lapangan kerja, melampaui industri telekomunikasi maupun otomotif di negara maju. Sementara itu, Aranditio (2023) mencatat sebanyak 50 film Indonesia diputar di 24 festival internasional di 18 negara sepanjang 2023, menandakan ekosistem perfilman nasional semakin membaik sekaligus memperkenalkan nilai, bahasa, dan cara pandang Indonesia ke dunia.
Sebagaimana ditegaskan Nye (2008), soft power adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain dengan cara menarik dan memesona, sehingga preferensi mereka dapat dibentuk sesuai keinginan. Dalam konteks ini, interaksi lintas budaya yang difasilitasi film menciptakan kedekatan emosional sekaligus memperkuat legitimasi diplomasi antarbangsa. Dengan demikian, film tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai jembatan strategis yang menghadirkan ruang dialog, empati, dan pemahaman lintas negara.
C. Film sebagai Katalisator Investasi
Diplomasi budaya melalui film tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga ekonomi. Riley et al. (1998) menegaskan bahwa film memberikan sudut pandang dan
cerita yang menarik, bahkan menginspirasi penonton untuk mengunjungi lokasi syutingnya. Studi Du et al. (2019) tentang Lost in Thailand menemukan bahwa film ini memengaruhi perilaku wisatawan Tiongkok ke Thailand, terlihat dari perubahan jumlah turisserta pola perjalanan spasial-temporal mereka. Yuvejwattana dan Suwannakij (2013) mencatat film ini ditonton lebih dari 30 juta orang, dengan potensi meningkatkan jumlah turis sebesar 10% pada 2013.
Indonesia memiliki peluang serupa. Dengan destinasi seperti Raja Ampat, Danau Toba, dan Candi Borobudur, film kolaboratif dapat menjadi promosi wisata kelas dunia. Badan Pusat Statistik (2025) melaporkan bahwa Tiongkok termasuk dalam lima besar penyumbang wisatawan mancanegara ke Indonesia, sehingga film dapat berperan dalam pemulihan dan percepatan pariwisata.
Selain itu, dimensi ekonomi perfilman juga penting. Hancock et al. (2025) mencatat Tiongkok memproduksi hampir 800 film pada 2023, melampaui Jepang dan Amerika Serikat. Bagi Indonesia, ini membuka dua peluang strategis: transfer teknologi perfilman (VFX dan animasi) serta akses ke pasar global yang sangat kompetitif. Dengan demikian, film menjadi instrumen diplomasi budaya yang tidak hanya memperkuat citra, tetapi juga mendorong pertumbuhan pariwisata dan ekonomi kreatif.
D. Inisiatif Bersama: Mengoptimalkan Kerja Sama Perfilman Indonesia– Tiongkok untuk Diplomasi Budaya dan Ekonomi Kreatif
Kerja sama di bidang perfilman antara Indonesia dan Tiongkok memegang peran penting, tidak hanya sebagai pilar diplomasi budaya, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi kreatif. Namun, potensi ini sering terhambat oleh perbedaan regulasi, tantangan sensor, serta preferensi pasar yang beragam. Untuk mengatasi hambatan ini dan mengoptimalkan peluang yang ada, kita perlu mengadopsi pendekatan strategis yang terintegrasi dan inovatif, melampaui metode konvensional.
Inisiatif ini dirancang untuk menciptakan ekosistem kolaborasi yang adaptif, berkelanjutan, dan berorientasi pada hasil nyata. Gagasan ini berpusat pada tiga pilar utama: kerangka regulasi yang adaptif, pendanaan yang strategis, dan platform kolaborasi yang inovatif.
- Pilar Regulasi Adaptif dan Fasilitasi Berbasis Data
Menyelesaikan hambatan regulasi dan birokrasi adalah langkah awal yang krusial. Alih-alih hanya membentuk komite, berikut merupakan mekanisme yang lebih efisien dan transparan.
Tabel 1: Pilar Regulasi Adaptif dan Fasilitasi Berbasis Data
|
Gagasan Inovatif |
Deskripsi & Cara Implementasi |
Dampak Jangka Pendek & Jangka Panjang |
| Sistem Perizinan Fast Track Bersama | Sebuah portal digital terintegrasi yang melibatkan perwakilan dari badan sensor dan kementerian terkait Indonesia–Tiongkok. Portal ini memungkinkan pengajuan dan persetujuan skenario, lokasi, dan visa kru film secara online dan terpadu. | Jangka Pendek: Mempersingkat waktu perizinan dari bulan menjadi minggu. Jangka Panjang: Meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai lokasi syuting bagi produser Tiongkok, mempercepat produksi, dan mengurangi biaya. |
| Pusat Analisis Kreatif Berbasis AI | Tim gabungan dari ahli data, penulis skenario, dan produser yang menggunakan machine learning untuk menganalisis tren konten di platform streaming Indonesia–Tiongkok.
Analisis ini digunakan untuk menghasilkan rekomendasi ide cerita yang terukur dan berpotensi sukses. |
Jangka Pendek: Meminimalkan risiko finansial dalam pengembangan cerita. Jangka Panjang: Membangun bank data konten yang relevan, menciptakan narasi yang tidak hanya populer, tetapi juga mampu menjembatani perbedaan budaya. |
Sumber: Olahan Penulis (2025)
- Pilar Pendanaan Strategis dan Ekosistem Inklusif
Pendanaan adalah urat nadi produksi film. Gagasan ini berfokus pada skema yang tidak hanya memberikan modal, tetapi juga mendorong investasi berkelanjutan dan kolaborasi yang lebih dalam.
Tabel 2: Pilar Pendanaan Strategis dan Ekosistem Inklusif
|
Gagasan Inovatif |
Deskripsi & Cara Implementasi |
Dampak Jangka Pendek & Jangka Panjang |
| Dana Kreatif Kolaborasi Berbasis Insentif | Dana kemitraan publik-swasta yang menawarkan insentif pajak berjenjang (tiered tax incentives). Insentif akan lebih besar jika investasi studio Tiongkok juga mencakup transfer pengetahuan, penggunaan teknologi lokal, atau pembangunan infrastruktur sinema di Indonesia. | Jangka Pendek: Mendorong investasi langsung dan mempercepat produksi. Jangka Panjang: Memperkuat infrastruktur industri perfilman Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas talenta lokal melalui kolaborasi teknis. |
| Program Kemitraan Produksi Bersama | Sebuah skema yang menjodohkan produser Tiongkok dengan produser, sutradara, dan penulis skenario lokal Indonesia untuk proyek-proyek tertentu. Proyek ini didukung dengan dana awal yang fleksibel, yang juga mencakup biaya pra produksi dan pengembangan ide. | Jangka Pendek: Memfasilitasi pertemuan produser dan memecah hambatan komunikasi. Jangka Panjang: Membangun jaringan profesional yang kuat, melahirkan kolaborasi yang otentik, dan mempromosikan keragaman cerita. |
Sumber: Olahan Penulis (2025)
- Pilar Promosi Budaya dan Pariwisata Terintegrasi
Film adalah alat promosi yang kuat, sehingga harus menggunakan film tidak hanya untuk bercerita, tetapi juga untuk mempromosikan keindahan alam dan budaya Indonesia secara strategis.
Tabel 3. Pilar Promosi Budaya dan Pariwisata Terintegrasi
|
Gagasan Inovatif |
Deskripsi & Cara Implementasi |
Dampak Jangka Pendek & Jangka Panjang |
| Inisiatif “Screen Tourism Berkelanjutan” | Kolaborasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mengidentifikasi lokasi syuting potensial. Film yang menggunakan lokasi-lokasi ini akan didukung dengan program promosi bersama, termasuk pembuatan konten digital tambahan (behind-the scenes, vlog perjalanan) yang menampilkan daya tarik lokasi tersebut. | Jangka Pendek: Meningkatkan visibilitas destinasi pariwisata Indonesia di pasar Tiongkok. Jangka Panjang: Menjadikan film sebagai katalis untuk menarik wisatawan, memperkuat ekonomi lokal di sekitar lokasi syuting, dan meningkatkan citra Indonesia sebagai destinasi kreatif. |
| Residensi Sutradara dan Penulis Skenario Lintas Budaya | Program pertukaran yang memungkinkan sineas muda dari kedua negara tinggal dan bekerja selama beberapa bulan di lingkungan kreatif masing-masing. Mereka akan berkolaborasi dalam proyek-proyek kecil dan mendapatkan pemahaman budaya dan perspektif lokal. | Jangka Pendek: Membangun jaringan dan persahabatan antar-sineas. Jangka Panjang: Menciptakan generasi baru storyteller yang mampu menciptakan narasi otentik, menghilangkan stereotip, dan menjembatani kesenjangan budaya. |
Sumber: Olahan Penulis (2025)
Melalui implementasi gagasan-gagasan ini, kerja sama perfilman Indonesia– Tiongkok tidak hanya akan menghasilkan karya sinematik yang berdaya saing global, tetapi juga akan secara fundamental memperkuat hubungan bilateral, menstimulasi pertumbuhan ekonomi, dan membangun jembatan budaya yang kokoh untuk masa depan.
E. Penutup
Kolaborasi perfilman Indonesia–Tiongkok berpotensi signifikan untuk memajukan diplomasi budaya dan ekonomi kreatif. Meskipun menghadapi tantangan regulasi dan pasar, pendekatan strategis yang terintegrasi seperti implementasi sistem perizinan cepat, analisis konten berbasis AI, pendanaan insentif, program kemitraan produksi bersama, screen tourism berkelanjutan, dan program pertukaran talenta, dapat menciptakan ekosistem kolaboratif. Dengan memanfaatkan film sebagai medium universal, sinergi ini akan menghasilkan karya sinematik berkualitas global, sekaligus memperkuat hubungan bilateral dan memajukan posisi sinema Indonesia–Tiongkok di panggung internasional.
F. Daftar Pustaka
- Aranditio, S. (2023, 18 Desember). Film Indonesia semakin mencuri perhatian dunia. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/film-indonesia-semakin-mencuri perhatian-dunia
- Badan Pusat Statistik. (2025, 5 Mei). Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia menurut kebangsaan. https://www.bps.go.id/id/statistics table/2/MTgyMSMy/jumlah-kunjungan-wisatawan-mancanegara-ke-indonesia menurut-kebangsaan.html
- CISAC & EY. (2015). Cultural times: The first global map of cultural and creative industries. International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC). https://www.cisac.org/
- Du, Y., Li, J., Pan, B., & Zhang, Y. (2019). Lost in Thailand: A case study on the impact of a film on tourist behavior. Journal of Vacation Marketing, 26(2), 135676671988690. https://doi.org/10.1177/1356766719886902
- Hancock, D., Rousseau, C., Slee, J., & Wunsch-Vincent, S. (2025, April 30). Global film production hits historic high, surpassing pre-pandemic levels. World Intellectual Property Organization. https://www.wipo.int/en/web/global-innovation index/w/blogs/2025/global-film-production
- Harefa, M. (2020). Dampak sektor pariwisata terhadap penerimaan daerah di Kabupaten Belitung [Impact of Tourism Sector on Regional Income in Belitung Regency]. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 11(1), 65-77. https://doi.org/10.22212/jekp.v11i1.1487
- Johnson, E., & Anfield, A. (2025). The role of cinema in reconstructing historical narratives.
- Malik, Z. (2022). China’s soft power: Effective international media presence from Chi Fast to Chi-Film. Journal of Development Policy, Research & Practice, 5, 81–95.
- Nye, J. S., Jr. (2008). Public diplomacy and soft power. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 616(1), 94–109. https://doi.org/10.1177/0002716207311699
- Riley, R., Baker, D., & Van Doren, C. S. (1998). Movie induced tourism. Annals of Tourism Research, 25(4), 919–935. https://doi.org/10.1016/S0160- 7383(98)00045-0
- Rizal, Z. A. (2024). Memahami relasi antara pemerintah dan industri film Tiongkok pada masa pemerintahan Hu Jintao dan Xi Jinping dalam upaya meningkatkan soft power [Skripsi]. Universitas Gadjah Mada. http://etd.repository.ugm.ac.id/
- Su, W. (2010). New strategies of China’s film industry as soft power. Global Media and Communication, 6(3), 317–322. https://doi.org/10.1177/1742766510384971
- UNESCO. (2021). Cultural times: The first global map of cultural and creative industries. UNESCO Publishing. https://ocm.iccrom.org/documents/cultural times-first-global-map-cultural-and-creative-industries
- Velasco-Ferreiro, E., Parra-Meroño, M. C., Osácar-Marzal, E., & Beltrán-Bueno, M. Á. (2021). Analysis of the impact of film tourism on tourist destinations. Academy of Strategic Management Journal, 20(2S), 1–15.
- Woodland, S. (2018). History repeating in Spring in a Small Town. In Remaking gender and the family (pp. 103–128). Brill. https://doi.org/10.1163/9789004363304_006
- Yuvejwattana, S., & Suwannakij, S. (2013, 4 Januari). Chinese tourists lost in Thailand boosts hotels: Southeast Asia. Bloomberg.com. https://www.bloomberg.com/news/articles/2013-01-03/chinese-tourists-lost-in thailand-boosts-hotels-southeast-asia
- Zhang, M. (2021). Reason for the success of The Wandering Earth. In Proceedings of the 2021 International Conference on Literature, Art and Human Development (ICLAHD 2021). Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/assehr.k.211120.042