Diplomasi Budaya sebagai Fondasi Kerja Sama Indonesia–Tiongkok: Menguatkan Sinergi Hukum, Kebudayaan, dan Investasi 

Ditulis oleh: Dina Natasha
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional

 

Di tengah riuhnya kerja sama ekonomi dan politik, diplomasi budaya seringkali menjadi narasi senyap yang justru memegang peranan krusial dalam merajut kembali tali persahabatan Indonesia dan Tiongkok. Saat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi sorotan publik dan volume perdagangan memecahkan rekor, program pertukaran pelajar, festival film Indonesia di Beijing, atau popularitas batik di kalangan seniman Tiongkok justru bekerja secara diam-diam. Mereka tidak berteriak dalam berita utama, namun secara perlahan menjadi fondasi penting yang menyingkirkan prasangka sejarah dan membangun rasa saling menghormati, menciptakan iklim yang kondusif bagi kolaborasi yang lebih dalam dan berkelanjutan. Pendekatan ini mengakui bahwa hubungan antarnegara tidak bisa hanya diukur dari neraca perdagangan, melainkan juga dari kualitas interaksi antarmanusia, yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan kemitraan jangka panjang. 

Hubungan Indonesia dan Tiongkok memiliki kedalaman historis yang jarang disadari, berakar jauh sebelum era modern. Kedua bangsa sudah berinteraksi secara intensif, membentuk jejak peradaban yang kuat. Menurut Suryadinata (2015), sejarah hubungan Indonesia–Tiongkok ditandai oleh interaksi budaya yang panjang, bahkan sejak masa Dinasti Tang dan Sriwijaya melalui jalur perdagangan maritim yang ramai. Catatan perjalanan biarawan Tiongkok I-Tsing pada abad ke-7 turut melengkapi kisah Sriwijaya sebagai simpul penting perdagangan dan spiritual, tempat I-Tsing sempat menetap untuk mempelajari ajaran Buddha sebelum melanjutkan perjalanannya ke India (I-Tsing, 2005). 

Dari interaksi awal ini, sebuah jaringan pertukaran budaya dan perdagangan terbentuk, menunjukkan bahwa hubungan keduanya bukan sesuatu yang lahir mendadak, melainkan hasil dari interaksi peradaban Asia yang panjang (Reid, 2010). Jejak-jejak tersebut terus hidup hingga era Majapahit dan jalur rempah, di mana interaksi dagang terus membentuk wajah sosial-ekonomi Nusantara (Wolters, 2011). Ini adalah bukti bahwa diplomasi budaya telah ada jauh sebelum istilahnya dicetuskan, berfungsi sebagai perekat yang mempersatukan dua peradaban.

Namun, masa damai tidak bertahan lama. Sejarah modern mencatat luka sejarah yang menguji hubungan kedua bangsa. Setelah Indonesia merdeka, Tiongkok dan Indonesia sempat membangun kedekatan melalui retorika antikolonial dan semangat Asia-Afrika (Anwar, 1994), mencapai puncaknya pada masa “Poros Jakarta-Peking” di era Presiden Soekarno. Akan tetapi, kedekatan ideologis ini terbukti rapuh. Tragedi 1965 dan politik Orde Baru memutus hubungan diplomatik selama lebih dari dua dekade (Suryadinata, 1992). Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di dalam negeri semakin memperkeruh persepsi, menciptakan jarak psikologis antara kedua bangsa. Titik nadirnya datang pada 1998, ketika krisis moneter diwarnai kerusuhan anti-Tionghoa yang meninggalkan trauma mendalam dan meretakkan relasi (Hoon, 2008). Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan yang hanya berlandaskan pada kepentingan politik semata, tanpa fondasi kepercayaan dan pemahaman budaya yang kuat. 

Setelah masa-masa sulit, Reformasi menjadi awal dari babak baru dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Pemulihan demokrasi di Indonesia sejalan dengan upaya menghangatkan kembali relasi diplomatik yang telah lama beku. Pada tahun 2005, kedua negara menandatangani Strategic Partnership, sebuah langkah yang signifikan untuk memulai kembali dialog formal. Kemitraan ini kemudian ditingkatkan menjadi Comprehensive Strategic Partnership pada 2013 (Kementerian Luar Negeri RI, 2013). Peningkatan status ini bukan sekadar formalitas, melainkan menunjukkan komitmen kedua pihak untuk memperluas kerja sama dari ekonomi dan politik hingga ke ranah sosial dan budaya. 

Dari titik ini, jalan baru kerja sama terbuka lebar. Proyek-proyek infrastruktur berskala besar, seperti kereta cepat Jakarta–Bandung (Salim & Negara, 2019), menjadi simbol nyata dari kemitraan yang diperbarui. Namun, fokus yang terlalu tajam pada keuntungan material dapat mengaburkan pandangan bahwa hubungan bilateral sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih dalam dan rumit. Diplomasi budaya, atau soft power, menjadi faktor penentu yang kerap diabaikan, padahal ia berfungsi untuk menjaga keberlanjutan hubungan jangka panjang (Nye, 2004). Tanpa pemahaman budaya yang memadai, proyek-proyek besar ini berpotensi menghadapi resistensi dari masyarakat lokal atau miskomunikasi yang dapat merusak kepercayaan.

Tiongkok, sebagai salah satu kekuatan global, telah lama menyadari kekuatan ini. Beijing telah menginvestasikan sumber daya besar pada Confucius Institute di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Hartig, 2012). Lembaga ini bukan hanya mengajarkan bahasa Mandarin, tetapi juga mempromosikan seni, filsafat, dan tradisi Tiongkok, secara strategis membangun citra positif di mata dunia. Langkah ini menumbuhkan daya tarik budaya yang memudahkan perluasan pengaruh ekonomi dan politik Tiongkok. Dalam konteks inilah, muncul pertanyaan krusial bagi Indonesia: bagaimana kita menyeimbangkan kekuatan soft power yang besar dari Tiongkok ini dan memastikan bahwa hubungan bilateral tetap saling menguntungkan? 

Untuk menjawab tantangan tersebut, Indonesia perlu menggeser fokus diplomasi budayanya menjadi lebih proaktif. Kunci dari diplomasi budaya yang efektif adalah merepresentasikan identitas bangsa secara utuh. Pusat kebudayaan Indonesia di Tiongkok, misalnya, sebaiknya tidak hanya berhenti pada pengajaran bahasa, melainkan menampilkan keragaman budaya dari Sabang sampai Merauke (Wuryandari, 2011). Dengan cara itu, masyarakat Tiongkok dapat memahami bahwa Indonesia bukanlah satu warna, melainkan mosaik multikultural yang kaya, toleran, dan dinamis. Pameran kuliner, pertunjukan seni tradisional, atau festival film dapat menjadi sarana efektif untuk menunjukkan kekayaan ini, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu dan apresiasi yang lebih dalam. 

Lebih jauh lagi, pemahaman tentang keragaman ini tidak hanya memperkaya interaksi budaya, tetapi juga mempermudah relasi bisnis. Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan budaya meningkatkan kepercayaan dan memudahkan adaptasi dalam kerja sama lintas negara (Ang, Van Dyne, & Rockstuhl, 2015). Hal ini selaras dengan konsep guanxi dalam budaya Tiongkok, di mana hubungan interpersonal yang baik menjadi fondasi bagi kelancaran transaksi ekonomi (Chen & Chen, 2004). Oleh karena itu, investor Tiongkok yang akrab dengan keberagaman Indonesia akan lebih luwes beradaptasi dengan lingkungan kerja lokal dan memitigasi potensi kesalahpahaman. Dengan menumbuhkan pemahaman ini, Indonesia dapat menarik investasi yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, karena investor tidak hanya melihat angka, tetapi juga nilai-nilai kemitraan. 

Selain menampilkan kekayaan budaya di pusat-pusat kebudayaan, langkah strategis lain adalah memperbanyak beasiswa bagi pelajar Tiongkok untuk studi di Indonesia. Program ini adalah

instrumen diplomasi budaya yang efektif dan cerdas. Sebagian besar beasiswa Tiongkok untuk pelajar Indonesia sering kali hanya dilihat sebagai bentuk bantuan pendidikan, tetapi kenyataannya, ini adalah langkah strategis dalam diplomasi budaya Tiongkok. Lebih dari sekadar memperlancar bisnis, investasi pada program beasiswa berfungsi untuk meningkatkan pengaruh politik Tiongkok secara halus. Melalui keterlibatan yang berkelanjutan, Tiongkok dapat menjalin jejaring dengan elit, akademisi, dan pemimpin muda Indonesia. Jejaring ini kemudian berfungsi sebagai sekutu informal yang berperan dalam membentuk wacana domestik pro-kerja sama dengan Tiongkok. 

Pengaruh jenis ini tidak mudah terlihat, tetapi sangat kuat, karena suara-suara pro-kerja sama tertanam langsung di lingkaran pengambilan keputusan. Berbeda dengan kontrak dagang atau kesepakatan investasi yang bersifat sementara, ikatan budaya bersifat abadi. Dengan berinvestasi pada beasiswa dan program pertukaran, Tiongkok secara strategis menumbuhkan generasi pemimpin Indonesia yang memiliki pandangan positif terhadap Tiongkok. Hal ini memastikan kehadiran Tiongkok di Indonesia tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga mengakar dalam masyarakat. 

Penting bagi Indonesia untuk membalikkan strategi serupa. Dengan menawarkan beasiswa bagi pelajar Tiongkok untuk mempelajari budaya, bahasa, dan sistem sosial Indonesia, kita dapat menciptakan duta-duta informal yang akan menjadi jembatan budaya di masa depan. Para pemimpin Tiongkok di masa depan yang pernah studi di Indonesia akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas Indonesia dan cenderung memandang kemitraan ini dengan perspektif yang lebih dalam dan positif. 

Pada akhirnya, diplomasi budaya tidak hanya berfungsi untuk membangun hubungan antarmanusia, tetapi juga sebagai perekat yang menguatkan sinergi hukum dan investasi. Proyek-proyek besar sering kali menemui hambatan bukan hanya dari sisi finansial, tetapi juga dari perbedaan budaya dan hukum. Misalnya, negosiasi kontrak dan penyelesaian sengketa dapat terhambat jika kedua belah pihak tidak memahami norma-norma budaya satu sama lain. Melalui pertukaran budaya, kedua negara dapat membangun modal sosial (Putnam, 1993) yang diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini.

Ketika masyarakat Indonesia melihat Tiongkok sebagai mitra yang menghargai identitas budaya mereka, resistensi terhadap proyek bilateral cenderung berkurang. Persepsi publik yang lebih baik ini memberikan fondasi yang lebih kuat bagi kerja sama serta legitimasi yang lebih stabil terhadap inisiatif Tiongkok. Demikian pula, investor Tiongkok yang memahami norma-norma lokal, seperti nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah, akan lebih mudah berinteraksi dengan pemangku kepentingan di Indonesia, mengurangi risiko proyek dan meningkatkan efisiensi. Dalam kerangka inilah, diplomasi budaya berfungsi sebagai fondasi. Ia menurunkan potensi gesekan sosial, memperkuat saling pengertian, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi implementasi hukum dan investasi yang sukses. 

Di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian, diplomasi budaya memberi pengingat bahwa hubungan antarbangsa pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan manusia untuk saling memahami. Hubungan Indonesia–Tiongkok, sebagai dua negara dengan peran penting di Asia, tidak hanya dibangun melalui pertukaran ekonomi atau politik, tetapi juga melalui interaksi budaya yang mendalam. Dari sinilah hukum dan investasi menemukan pijakan yang tidak hanya kokoh, tetapi juga berkelanjutan. Diplomasi budaya bukan sekadar ornamen dalam politik luar negeri, melainkan fondasi strategis yang menentukan arah dan daya tahan hubungan bilateral. 

Mengembangkan inisiatif people-to-people menjadi salah satu kunci untuk memperkuat pemahaman lintas budaya. Program pertukaran pelajar, festival seni, pameran budaya, dan kolaborasi akademik dapat memperluas wawasan masyarakat Tiongkok tentang Indonesia, sekaligus meningkatkan kesadaran publik Indonesia terhadap budaya Tiongkok. Selain itu, promosi budaya melalui media digital dan program beasiswa juga dapat menjadi instrumen strategis jangka panjang, membangun generasi yang terbiasa bekerja sama lintas negara dan memahami konteks sosial-politik masing-masing. 

Lebih jauh, diplomasi budaya dapat menjadi jembatan bagi terciptanya kerja sama hukum dan investasi yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan saling memahami norma, nilai, dan etika bisnis masing-masing negara, potensi konflik dapat diminimalkan dan peluang kolaborasi dapat dimaksimalkan. Dalam konteks geopolitik yang sering berubah, pendekatan berbasis budaya ini memungkinkan kedua negara mengubah ketidakpastian menjadi peluang kolaborasi yang saling menguntungkan.

Dengan fondasi budaya yang kuat, Indonesia dan Tiongkok dapat memastikan kemitraan strategis mereka terus tumbuh, melampaui kepentingan ekonomi dan politik sesaat, menuju hubungan yang lebih stabil, inklusif, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Diplomasi budaya, oleh karena itu, bukan hanya strategi diplomatik, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan kedua bangsa.

 

Daftar Pustaka 

  • Ang, S., Van Dyne, L., & Rockstuhl, T. (2015). Cultural Intelligence: The Art of Thriving in a Diverse World. Stanford University Press. 
  • Anwar, D. F. (1994). Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism. Institute of Southeast Asian Studies. 
  • Chen, M. J., & Chen, X. P. (2004). The Global Chinese Business Network: An Internationalization Perspective. Routledge. 
  • Hartig, F. (2012). The Global Diffusion of the Confucius Institute. Journal of Public Diplomacy, 4(1), 1-15. 
  • Hoon, C. Y. (2008). The 1998 Anti-Chinese Riots in Indonesia: A Reassessment. Asian Journal of Social Science, 36(1), 1-24. 
  • I-Tsing. (2005). A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (AD 671-695). Kessinger Publishing. (Karya asli tahun 671 M). 
  • Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2013). Joint Statement on the Comprehensive Strategic Partnership between Indonesia and the People’s Republic of China. Jakarta: Kemlu RI. 
  • Nye, J. S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. Public Affairs. 
  • Putnam, R. D. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press. 
  • Reid, A. (2010). A History of Southeast Asia: An Interdisciplinary Perspective. Palgrave Macmillan. 
  • Salim, S., & Negara, S. D. (2019). The Jakarta-Bandung High-Speed Railway: A Case Study on China’s Belt and Road Initiative in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, 36(1), 1-15. 
  • Suryadinata, L. (1992). China and the Chinese Overseas in Southeast Asia. Times Academic Press.
  • Suryadinata, L. (2015). The Rise of China and the Chinese Diaspora in Southeast Asia. ISEAS-Yusof Ishak Institute. 
  • Wolters, O. W. (2011). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. Cornell University Press. 
  • Wuryandari, G. (2011). Indonesia’s Cultural Diplomacy in the 21st Century. Gramedia Pustaka Utama.