Ditulis oleh: Karomahudin Rizki Andinugroho
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa
Hubungan Indonesia–Tiongkok saat ini berada dalam fase strategis yang akan menentukan arah kerja sama ekonomi di masa mendatang, didorong oleh sinergi antara Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok dan visi pembangunan Indonesia, khususnya hub maritim global dan transformasi menuju Indonesia 2045.
Kedua negara tidak hanya berbagi ikatan sejarah dan budaya, tetapi juga kepentingan ekonomi yang saling melengkapi: Indonesia membutuhkan investasi dan teknologi untuk mengembangkan infrastruktur dan industri manufakturnya, sementara Tiongkok membutuhkan pasar baru dan akses ke sumber daya alam serta bahan baku strategis seperti nikel, batu bara, dan minyak sawit.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai perdagangan kedua negara akan mencapai USD 127,8 miliar pada tahun 2025, menjadikan Tiongkok mitra dagang terbesar Indonesia. Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menempatkan Tiongkok sebagai investor asing terbesar kedua, dengan realisasi investasi mencapai USD 7,4 miliar pada tahun 2024, yang sebagian besar disalurkan ke sektor-sektor vital seperti infrastruktur (misalnya proyek kereta cepat Jakarta–Bandung), kawasan industri (seperti di Morowali dan Weda Bay), dan teknologi digital.
Angka-angka ini menunjukkan saling ketergantungan dan peluang signifikan yang dimiliki kedua negara untuk menciptakan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, di balik potensi yang sangat besar ini, berbagai hambatan hukum dan peraturan seringkali menghambat kelancaran arus investasi bilateral, seperti ketidakpastian peraturan regional, kompleksitas proses perizinan yang berbelit-belit, tumpang tindih kewenangan antarlembaga, dan kekhawatiran tentang standar lingkungan serta penggunaan tenaga kerja asing, yang kerap menimbulkan gesekan sosial dan operasional.
Mengatasi hambatan struktural ini merupakan prasyarat yang sangat diperlukan untuk mengubah hubungan ekonomi potensial ini menjadi kemakmuran yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi kedua negara.
Tantangan hukum menjadi isu sentral, karena investasi terkait erat dengan kepastian regulasi. Investor membutuhkan jaminan bahwa modal dan proyek mereka dilindungi oleh sistem hukum yang adil dan konsisten. Di sisi lain, negara tuan rumah bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasional, masyarakat lokal, serta memastikan bahwa kegiatan investasi tidak merugikan lingkungan atau kedaulatan nasional.
Konflik kepentingan ini membuat aspek hukum investasi bilateral menjadi sangat kompleks dan memerlukan analisis yang mendalam. Berbagai studi menunjukkan bahwa kepastian hukum merupakan faktor kunci yang memengaruhi minat investor asing (Bank Dunia, 2020). Tanpa regulasi yang jelas dan terprediksi, investor enggan berinvestasi dalam jangka panjang, terutama di sektor-sektor strategis yang sensitif.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dan Tiongkok adalah perbedaan mendasar antara sistem hukum mereka. Indonesia menganut sistem hukum perdata yang dicirikan oleh hukum tertulis yang mengikat, sementara Tiongkok memiliki sistem hukum unik yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat dan dinamika politik dalam negeri (Li, 2021).
Perbedaan-perbedaan ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman atau inkonsistensi dalam implementasi perjanjian investasi. Misalnya, investor Tiongkok yang beroperasi di Indonesia menghadapi persyaratan perizinan yang rumit dan diatur oleh beragam peraturan sektoral, mulai dari pertambangan dan lingkungan hingga ketenagakerjaan.
Peraturan-peraturan ini kerap berubah atau ditafsirkan secara berbeda oleh pemerintah pusat dan daerah, sehingga meningkatkan ketidakpastian. Di sisi lain, bisnis Indonesia yang berinvestasi di Tiongkok harus menghadapi berbagai mekanisme birokrasi, termasuk kebijakan perlindungan khusus sektor yang dapat berubah. Menyelaraskan peraturan antarnegara masih menjadi tugas yang belum selesai.
Isu krusial lainnya adalah ketidakpastian regulasi dan tumpang tindih regulasi di dalam negeri. Pemerintah Indonesia memang telah menerapkan sejumlah reformasi, termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan menyederhanakan perizinan dan meningkatkan kepastian hukum. Namun, implementasi di tingkat daerah masih menghadapi banyak tantangan.
Banyak regulasi pelaksana tidak sinkron, dan birokrasi daerah masih lambat serta berbelit-belit. Banyak proyek investasi, termasuk yang melibatkan investor Tiongkok, mengalami penundaan akibat perbedaan interpretasi regulasi atau perubahan kebijakan yang tiba-tiba (INDEF, 2022).
Situasi ini mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi dan menimbulkan risiko hukum bagi investor.
Lebih lanjut, konflik antara perlindungan investor dan kepentingan nasional juga muncul. Negara memiliki kewajiban melindungi kedaulatan dan kepentingan publik, termasuk lingkungan dan hak masyarakat lokal. Banyak proyek pertambangan dan infrastruktur Tiongkok menuai kritik karena dianggap mengabaikan dampak lingkungan atau keselamatan kerja.
Di sisi lain, investor asing membutuhkan jaminan bahwa proyek mereka tidak akan terhenti karena protes atau kebijakan proteksionis. Keseimbangan antara perlindungan investor dan kepentingan publik merupakan dilema yang perlu diselesaikan dalam kerangka hukum yang adil dan transparan.
Sama pentingnya adalah mekanisme penyelesaian sengketa investasi. Sengketa antara investor asing dan negara tuan rumah sering memerlukan forum arbitrase internasional seperti ICSID. Meskipun netral, mekanisme ini mahal dan memakan waktu. Investor asing kadang skeptis terhadap pengadilan nasional, sementara pemerintah khawatir terhadap keputusan arbitrase internasional yang merugikan kepentingan mereka.
Indonesia perlu mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efisien, terjangkau, dan adil. Salah satunya adalah membentuk forum arbitrase bilateral khusus Indonesia–Tiongkok atau memperkuat lembaga arbitrase nasional agar memenuhi standar internasional (Wijaya, 2023).
Tantangan signifikan lainnya adalah masalah integritas dan transparansi. Korupsi, suap, dan pemerasan dalam proses perizinan dan administrasi proyek terus menjadi momok bagi investor, termasuk dari Tiongkok. Praktik ini menimbulkan biaya tambahan tidak resmi, ketidakpastian hukum, dan merusak reputasi internasional.
Bagi perusahaan Tiongkok yang terbiasa dengan sistem cepat, biaya transaksi tinggi dan tak terduga ini dapat melemahkan daya saing. Karena itu, reformasi tata kelola menjadi krusial. Sistem perizinan digital seperti Online Single Submission (OSS) mampu meminimalkan interaksi tatap muka, meningkatkan transparansi, dan menciptakan catatan digital yang dapat diaudit (Transparency International, 2022).
Namun, digitalisasi saja tidak cukup; perlu komitmen politik untuk menegakkan hukum secara adil, memperkuat kapasitas lembaga pengawas seperti KPK, dan membangun budaya korporasi yang menolak pungutan liar.
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah:
-
Harmonisasi regulasi dan modernisasi Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) Indonesia–Tiongkok.
-
Reformasi regulasi untuk menyederhanakan prosedur perizinan dan menghapus regulasi tumpang tindih.
-
Perlindungan kepentingan nasional melalui hukum lingkungan, hak masyarakat lokal, dan CSR.
-
Penguatan mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan adil.
-
Penegakan integritas melalui hukum yang kuat dan penerapan teknologi digital.
Penting dicatat, penanganan tantangan hukum ini tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga membutuhkan sinergi dengan dunia usaha dan masyarakat sipil. Investor asing, termasuk dari Tiongkok, harus mematuhi hukum Indonesia dan menerapkan praktik bisnis berkelanjutan.
Masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam pengawasan proyek investasi. Pemerintah harus bertindak sebagai mediator yang adil, bukan sekadar regulator.
Jika langkah-langkah ini diterapkan konsisten, kerja sama investasi bilateral Indonesia–Tiongkok bisa menjadi model kerja sama internasional yang inklusif dan berkelanjutan. Investasi berbasis kepastian hukum tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan manfaat bagi seluruh masyarakat.
Di era globalisasi, keberhasilan kerja sama ekonomi tidak ditentukan semata oleh besar modal, tetapi juga kualitas tata kelola hukum. Tanpa aturan jelas dan penegakan hukum yang adil, investasi bisa jadi sumber konflik. Sebaliknya, dengan hukum yang transparan dan harmonis, investasi akan menjembatani kepentingan ekonomi, budaya, dan diplomatik kedua negara.
Kesimpulannya, tantangan hukum investasi bilateral Indonesia–Tiongkok bersifat kompleks, meliputi perbedaan sistem hukum, ketidakpastian regulasi, perlindungan kepentingan nasional, mekanisme sengketa, dan masalah integritas. Semua tantangan ini perlu diatasi melalui reformasi hukum, harmonisasi regulasi, dan penegakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Kerja sama investasi sukses bukan hanya tentang arus modal, tetapi keberanian membangun landasan hukum kokoh. Dengan itu, Indonesia dan Tiongkok dapat mewujudkan sinergi ekonomi yang menguntungkan, berkelanjutan, dan mempererat hubungan diplomatik. Setiap investasi yang dilandasi kepastian hukum akan menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua.
Daftar Pustaka
-
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2024). Laporan Realisasi Investasi Triwulan IV 2024. Jakarta: BKPM.
-
Badan Pusat Statistik. (2025). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2024. Jakarta: BPS.
-
Chen, L. (2022). Chinese Investment Policy in the Belt and Road Era: Continuity and Change. Beijing: China Social Sciences Press.
-
Indonesian Center for Environmental Law. (2023). Environmental Impact of Foreign Investment: Case Studies from China’s Projects in Indonesia. Jakarta: ICEL.
-
Indonesian Chamber of Commerce. (2023). Enhancing Social Responsibility in International Investment. Jakarta: KADIN.
-
Institute for Development of Economics and Finance. (2023). Regulatory Reform and Investment Climate in Indonesia. Jakarta: INDEF.
-
International Centre for Settlement of Investment Disputes. (2023). Annual Report 2023. Washington, DC: ICSID.
-
Kementerian Perindustrian. (2024). Roadmap Pengembangan Industri Elektronik Nasional 2024–2030. Jakarta: Kemenperin.
-
Liu, W., & Santoso, B. (2023). Dispute Resolution in International Investment: Comparative Perspectives. Singapore: Springer.
-
Ministry of Industry. (2023). Industrial Policy and Technological Development: Lessons from China. Jakarta: Ministry of Industry.
-
National Development Planning Agency. (2023). Digital Transformation in Public Services: Strategy and Implementation. Jakarta: BAPPENAS.
-
Smith, J., & Zhao, M. (2023). Legal Systems and Economic Development: Comparative Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
-
Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023. Berlin: Transparency International Secretariat.
-
Wang, Y., & Setiawan, A. (2023). Nationalism and Economic Policy in Indonesia–China Relations. Journal of Southeast Asian Economics, 40(2), 134–156.
-
World Bank. (2023). Doing Business 2023: Comparing Business Regulation in 190 Economies. Washington, DC: World Bank.
-
Zhang, X. (2023). Bilateral Investment Treaties in the 21st Century: Evolution and Challenges. The Hague: Kluwer Law International.