Ditulis oleh: Dwi Kurniadi
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Mahasiswa
Diplomasi selalu dipersepsikan sebagai seni negosiasi yang dingin, meja panjang, para diplomat berjas gelap, bendera dua negara terpajang di belakang, dan pernyataan pers yang penuh kalimat resmi. Namun, jika kita menyelami lapisan terdalam diplomasi, ia sesungguhnya adalah pertemuan antara cita-cita dan kenyataan. Diplomasi adalah perahu yang mengarungi samudra kepentingan, di mana badai ketimpangan dan gelombang dominasi selalu mengancam keseimbangan.
Di sinilah kata inklusi menjadi kunci. Diplomasi yang inklusif adalah diplomasi yang tidak hanya dimonopoli oleh elite negara, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat sipil, dunia usaha kecil, akademisi, bahkan komunitas adat. Inklusi memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir dari meja perundingan bukan hanya milik segelintir orang, melainkan napas bersama yang menghidupi banyak lapisan masyarakat (Sahputri dan Ibrahim 2023).
Namun, inklusi saja tidak cukup. Ia membutuhkan pasangan sejatinya yakni keadilan. Dalam hubungan bilateral, keadilan berarti memastikan bahwa kerja sama tidak melahirkan hubungan yang timpang, di mana satu pihak menjadi majikan dan pihak lain menjadi buruh yang hanya menerima sisa. Keadilan menuntut distribusi manfaat yang setara, transparan, dan memberi ruang bagi mereka yang berada di pinggiran.
John Rawls, filsuf politik Amerika abad ke-20, hadir dengan sebuah konsep moral yang kemudian menjadi salah satu pilar teori keadilan modern, Justice as Fairness. Ia membayangkan sebuah masyarakat yang diatur oleh dua prinsip utama; pertama, semua orang memiliki kebebasan dasar yang setara. Kedua, ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika bermanfaat bagi mereka yang paling lemah (Edor 2020).
Rawls menggunakan metafora veil of ignorance (tirai ketidaktahuan). Bayangkan para perunding diplomasi duduk di meja tanpa mengetahui apakah negara mereka kaya atau miskin, kuat atau lemah, maju atau berkembang. Dalam kondisi itu, mereka akan menyusun aturan yang adil, karena tidak ada yang berani mengambil risiko menciptakan aturan yang merugikan dirinya sendiri jika ternyata ia termasuk pihak yang lemah.
Sayangnya, dunia nyata jarang mengenal veil of ignorance. Negara-negara datang ke meja diplomasi dengan penuh kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing. Negara besar cenderung menggunakan posisinya untuk memaksakan agenda, sementara negara kecil berusaha mencari celah untuk bertahan.
Tetapi justru karena realitas itu keras, gagasan Rawls menjadi semakin relevan. Ia menghadirkan lensa moral yang menuntut agar diplomasi tidak hanya mengutamakan keuntungan jangka pendek, melainkan keadilan jangka panjang. Jika prinsip Rawls diterapkan dalam hubungan bilateral, maka setiap kesepakatan harus diuji dengan pertanyaan, apakah kesepakatan ini memberi manfaat nyata bagi pihak yang lebih lemah? Apakah ia melibatkan suara masyarakat, bukan hanya elite penguasa?
Diplomasi yang adil adalah diplomasi yang menghidupkan inklusi, membuka jalan bagi partisipasi luas, dan memastikan manfaat mengalir hingga ke lapisan paling bawah.
Indonesia–Tiongkok: Hubungan Strategis di Persimpangan Baru
Tidak ada hubungan bilateral yang begitu sarat dinamika seperti hubungan Indonesia–Tiongkok. Ia adalah drama panjang yang melibatkan sejarah, politik, ekonomi, bahkan identitas.
Pada pertengahan abad ke-20, hubungan kedua negara sempat mencapai puncak kehangatan. Konferensi Asia–Afrika di Bandung (1955) menjadi simbol solidaritas bangsa-bangsa Selatan. Namun, tragedi politik 1965 di Indonesia membuat hubungan ini membeku selama lebih dari dua dekade. Hanya pada awal 1990-an hubungan diplomatik kembali dijalin, membuka babak baru kerja sama yang kini berkembang menjadi salah satu yang paling strategis bagi kedua pihak (Rosari, t.t.).
Di era globalisasi, Tiongkok menjelma menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, sementara Indonesia tampil sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan pasar yang luas dan posisi geografis yang strategis. Tidak mengherankan jika keduanya saling membutuhkan.
Tiongkok membutuhkan Indonesia sebagai mitra dagang, sumber bahan mentah, sekaligus pasar besar untuk produknya. Indonesia membutuhkan Tiongkok sebagai investor infrastruktur, penyedia teknologi, dan mitra strategis dalam geopolitik Asia.
Proyek Belt and Road Initiative (BRI) adalah bukti paling nyata. Indonesia menjadi simpul penting jalur sutra maritim modern. Dari pembangunan kereta cepat Jakarta–Bandung, pengembangan pelabuhan, hingga kawasan industri, semua menegaskan betapa strategisnya hubungan kedua negara (Habib 2017).
Namun, di balik narasi strategis itu, muncul pertanyaan-pertanyaan kritis. Apakah proyek-proyek tersebut benar-benar inklusif? Apakah masyarakat lokal ikut menikmati manfaat, atau justru tersingkir oleh arus pekerja asing dan kontraktor besar? Apakah UMKM mendapat peluang, atau hanya menjadi penonton di pinggir jalan tol yang dibangun?
Di banyak tempat, muncul cerita tentang warga yang lahannya tergusur, atau nelayan yang aksesnya ke laut terhambat oleh reklamasi proyek pelabuhan. Ada pula cerita tentang buruh lokal yang kalah bersaing dengan pekerja impor. Narasi ini menunjukkan bahwa inklusi masih sering absen dalam praktik kerja sama Indonesia–Tiongkok.
Namun, di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek tersebut membawa manfaat makro. Pertumbuhan ekonomi meningkat, infrastruktur membaik, dan posisi Indonesia dalam peta global menguat. Persoalannya adalah bagaimana memastikan manfaat itu tidak berhenti di level makro, tetapi juga terasa di dapur masyarakat kecil (Latifah 2015).
Hubungan Indonesia–Tiongkok saat ini bagaikan sebuah persimpangan. Kita bisa memilih jalan yang menjadikan hubungan ini sebagai lokomotif pembangunan yang inklusif dan adil, atau membiarkannya menjadi jalur cepat menuju ketergantungan baru.
Di titik inilah gagasan Rawls menjadi lentera. Justice as Fairness menuntut agar hubungan bilateral tidak hanya menguntungkan elite, tetapi juga berpihak pada mereka yang lemah—buruh, petani, nelayan, dan masyarakat lokal yang sering kali hanya menjadi objek dari proyek besar.
Justice as Fairness: Jalan Menuju Diplomasi yang Setara
Bagaimana membawa semangat Rawls ke meja diplomasi Indonesia–Tiongkok? Tentu tidak mudah, tetapi bukan mustahil.
Pertama, transparansi. Setiap kesepakatan harus dibuka ke publik. Kontrak-kontrak besar tidak boleh menjadi rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir pejabat. Dengan transparansi, masyarakat bisa menilai apakah kesepakatan itu adil atau tidak.
Kedua, partisipasi. Pemerintah daerah, akademisi, komunitas lokal, bahkan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan dalam perencanaan proyek. Misalnya, dalam pembangunan kawasan industri, masyarakat lokal perlu diajak bicara tentang dampaknya terhadap lingkungan dan mata pencaharian mereka (Handayani, t.t.).
Ketiga, pemerataan manfaat. Konsep Rawls menekankan bahwa ketidaksetaraan hanya sah jika menguntungkan pihak yang lemah. Dalam konteks ini, setiap proyek harus memberi ruang bagi pelaku usaha kecil, membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal, dan menjamin adanya transfer teknologi.
Keempat, mekanisme koreksi. Tidak ada proyek yang sempurna. Namun yang penting adalah adanya mekanisme untuk memperbaiki jika terjadi dampak negatif. Misalnya, jika nelayan kehilangan akses ke laut akibat pembangunan pelabuhan, maka harus ada kompensasi atau program alternatif yang benar-benar menjamin keberlanjutan hidup mereka.
Dengan empat langkah ini, diplomasi Indonesia–Tiongkok bisa bergerak mendekati visi Rawlsian: diplomasi yang adil, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama. Lebih dari itu, penerapan justice as fairness dalam hubungan bilateral akan menjadikan Indonesia bukan sekadar penerima manfaat, tetapi juga penentu arah. Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia bahwa diplomasi bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan juga tentang moralitas. Bahwa hubungan antarbangsa bisa dibangun di atas dasar keadilan, bukan dominasi (Yuanita 2022).
Menatap Persimpangan Sejarah
Sejarah, pada akhirnya, selalu berbicara dengan cara yang pelan tapi pasti. Ia tidak pernah berteriak, tetapi setiap peristiwa yang lahir dari keputusan hari ini akan terpatri dalam catatan panjang umat manusia. Hubungan Indonesia–Tiongkok hari ini bukan sekadar catatan diplomatik, bukan pula sekadar angka-angka dalam laporan ekonomi, melainkan sebuah persimpangan yang menentukan arah peradaban di masa depan.
Di titik inilah kita berdiri: menatap kemungkinan besar yang menyimpan janji, sekaligus risiko yang mengintai.
Kita bisa memilih jalan yang menjadikan hubungan ini sebagai mesin pembangunan inklusif, yang menyalurkan berkah kerja sama kepada setiap lapisan rakyat. Jalan di mana investasi tidak hanya membangun gedung-gedung pencakar langit di kota besar, tetapi juga mengalirkan cahaya listrik ke desa-desa, memberi harga yang adil untuk hasil bumi petani, dan menghadirkan rasa aman bagi nelayan di lautnya (Muhamad, t.t.).
Tetapi kita juga bisa terjerumus pada jalan lain: jalan yang menjadikan hubungan ini sebagai panggung baru ketimpangan, di mana segelintir pihak menikmati keuntungan, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton yang terpinggirkan, menyaksikan tanahnya tergadai, sumber dayanya terkuras, dan suaranya tak terdengar.
Inklusi dan keadilan adalah kunci, seperti pintu rahasia yang menentukan apakah kita melangkah ke ruang harapan atau ke jurang kehampaan. Tanpa inklusi, diplomasi adalah pesta yang digelar hanya untuk segelintir elite, sementara rakyat kebanyakan hanya bisa berdiri di luar pagar, mendengar musik yang tidak pernah mereka ikuti. Tanpa keadilan, kerja sama hanyalah topeng yang menutupi wajah eksploitatif; sebuah persekutuan yang, alih-alih membebaskan, justru mengikat lebih erat dalam ketergantungan yang timpang (Sahputri dan Ibrahim 2023).
John Rawls hadir dalam ingatan kita sebagai seorang filsuf yang menolak melihat keadilan sekadar hadiah dari yang kuat kepada yang lemah. Dengan justice as fairness, ia mengajarkan bahwa keadilan adalah prinsip yang harus ditegakkan sejak awal permainan dimulai. Bahwa dalam kontrak sosial maupun dalam diplomasi antarbangsa, setiap pihak seharusnya menandatangani perjanjian dari balik “tirai ketidaktahuan”, tanpa tahu siapa yang lebih kuat atau lemah, sehingga aturan yang lahir sungguh-sungguh adil bagi semua.
Inilah peta moral yang bisa menavigasi jalan kita di persimpangan ini: diplomasi sejati bukanlah soal siapa yang bisa menundukkan siapa, melainkan bagaimana kekuatan digunakan untuk mengangkat yang rentan agar mereka dapat berdiri sejajar.
Indonesia dan Tiongkok adalah dua bangsa yang sama-sama mengusung sejarah panjang: keduanya pernah merasakan getirnya kolonialisme, merasakan manis-pahit perjuangan, dan kini berdiri di panggung global sebagai negara yang diperhitungkan.
Kedua bangsa ini, bila mampu meramu diplomasi yang adil, bisa menunjukkan kepada dunia bahwa kerja sama lintas perbedaan tidak harus melahirkan dominasi satu pihak atas pihak lain, tetapi dapat menjadi teladan bagaimana perbedaan dijahit dengan benang inklusi dan keadilan.
Mungkin inilah saatnya kita menegakkan sebuah prinsip sederhana namun mendasar: bahwa diplomasi tidak boleh berhenti pada angka-angka investasi, pidato pejabat tinggi, atau dokumen perjanjian yang penuh jargon. Diplomasi sejati harus turun menyentuh bumi: ia harus terasa pada sawah petani yang memperoleh harga adil untuk padi mereka, pada perahu nelayan yang berani berlayar tanpa takut kehilangan hak atas lautnya, pada kios pedagang kecil yang mendapat peluang dari arus perdagangan, dan pada ruang kelas anak-anak bangsa yang mendapatkan akses teknologi untuk masa depan mereka. Diplomasi sejati bukanlah seni kalkulasi semata, melainkan seni moral yang menyalakan kembali nurani (Rosari, t.t.).
Sejarah menunggu jawaban kita dengan sabar, tetapi sabarnya tidak abadi. Waktu berlari, dan setiap hari kita menunda keputusan untuk menegakkan inklusi dan keadilan, jurang ketimpangan semakin menganga.
Apakah hubungan Indonesia–Tiongkok akan kita ukir sebagai monumen keadilan, sebagai batu penanda bahwa dua bangsa besar pernah memilih jalan kebijaksanaan? Ataukah ia hanya akan menjadi catatan getir tentang ketimpangan baru, di mana satu pihak tumbuh makmur sementara yang lain terjerat dalam keterpinggiran yang panjang?
Pilihan itu tidak berada di tangan sejarah, melainkan di tangan kita. Sejarah hanyalah cermin, ia akan menuliskan apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita harapkan.
Jika hari ini kita berani menegakkan prinsip inklusi dan keadilan, maka esok kita akan membaca sejarah sebagai kisah keberanian. Tetapi jika kita tergoda pada jalan pintas kekuasaan dan keuntungan sesaat, maka esok kita hanya akan membaca sejarah sebagai catatan tentang kelengahan (Anwar dkk. 2021).
Dan waktu, seperti sungai yang tak henti mengalir, tidak akan menunggu terlalu lama. Diplomasi yang kita bangun hari ini adalah warisan yang akan dipetik oleh generasi mendatang. Biarlah mereka mewarisi sebuah dunia di mana diplomasi bukan sekadar transaksi, melainkan jembatan yang menuntun mereka menuju kehidupan yang lebih setara, inklusif, dan adil. Sebab pada akhirnya, keadilan adalah satu-satunya bahasa yang dapat dipahami oleh sejarah.
Daftar Pustaka
-
Anwar, Mashuril, Rini Fathonah, dan Niko Alexander. 2021. “Menelaah Keadilan dalam Kebijakan Penanggulangan Illegal Fishing Di Indonesia: Perspektif Konsep Keadilan Thomas Aquinas.” SASI 27 (2): 126. https://doi.org/10.47268/sasi.v27i2.357
-
Edor, Edor J. 2020. “John Rawls’s Concept of Justice as Fairness.” PINISI Discretion Review 4 (1): 179. https://doi.org/10.26858/pdr.v4i1.16387
-
Habib, Muchlis Samfrudin. 2017. “Sistem Kewarisan Bilateral Ditinjau Dari Maqashid Al-Syari’ah.” De Jure: Jurnal Hukum dan Syar’iah 9 (1). https://doi.org/10.18860/j-fsh.v9i1.4241
-
Handayani, Intan. t.t. John Rawls: Filsafat Hukum.
-
Latifah, Emmy. 2015. “Eksistensi Prinsip-Prinsip Keadilan dalam Sistem Hukum Perdagangan Internasional.” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 2 (1): 64–85. https://doi.org/10.22304/pjih.v2n1.a5
-
Muhamad, Simela Victor. t.t. Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Hubungan Internasional dan Indonesia.
-
Rosari, Arnia Fenti. t.t. Dinamika Hubungan India–Indonesia: Sejarah, Ekonomi, Budaya.
-
Sahputri, Ria Anjriani, dan Hendra Ibrahim. 2023. “Peran Diplomasi Ekonomi Dalam Kebijakan Untuk Meningkatkan Kerjasama Bisnis Antarnegara.” Jurnal Minfo Polgan 12 (2): 2604–8. https://doi.org/10.33395/jmp.v12i2.13329
-
Yuanita, Alifa Cikal. 2022. “Menelaah Konsep Keadilan Hukum Teori Keadilan John Rawls dalam Pemutusan Hubungan Kerja secara Sepihak terhadap Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri.” Interdisciplinary Journal on Law, Social Sciences and Humanities 3 (2): 130. https://doi.org/10.19184/idj.v3i2.34553