Ditulis oleh: Virdika Rizky Utama
Artikel diambil dari 10 tulisan terbaik dalam kegiatan Nagantara Essay Competition 2025 kategori Profesional
Hubungan Indonesia dan Tiongkok pada awal abad ke-21 tidak pernah sekadar urusan ekonomi atau perdagangan. Ia adalah sebuah cermin yang memantulkan dinamika besar dari tatanan dunia multipolar yang sedang tumbuh, di mana Global South berusaha merebut kembali ruangnya dalam sejarah. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, memiliki peran strategis dalam menegosiasikan bagaimana relasi ini dibentuk. Pertanyaannya, apakah akan menjadi kisah ketergantungan baru atau model alternatif hubungan internasional yang lebih inklusif dan adil.
Dalam dua dekade terakhir, Tiongkok menjelma sebagai mitra dagang terbesar dan salah satu investor utama di Indonesia. Proyek-proyek ikonik seperti kereta cepat Jakarta–Bandung, kawasan industri Morowali, atau smelter nikel di Sulawesi menjadi simbol sekaligus sumber perdebatan publik. Di atas kertas, investasi ini mengalir deras, dengan miliaran dolar modal, ribuan tenaga kerja, dan percepatan infrastruktur yang sebelumnya hanya menjadi mimpi. Namun di lapangan, kisahnya sering kali lebih rumit. Konflik agraria, minimnya alih teknologi, serta masuknya tenaga kerja asing memicu pertanyaan: untuk siapa semua ini dibangun?
Paradoks ini tidak hanya khas Indonesia, tetapi juga dialami banyak negara di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin. Tiongkok datang dengan janji pembangunan, tetapi meninggalkan jejak asimetri. Hal yang mengemuka bukanlah sekadar besar atau kecilnya investasi, melainkan kualitas relasi, yakni apakah ia inklusif, adil, dan memberi ruang bagi negara penerima untuk tetap berdaulat. Seperti Amitav Acharya tekankan dalam The End of American World Order (2018), multipolaritas hanya bisa bertahan jika negara-negara menengah mampu menuntut relasi yang lebih adil dalam sistem global
Relasi Asimetris
Di sinilah pentingnya gagasan inklusi dan keadilan. Inklusi berarti keterlibatan nyata masyarakat, bukan sekadar formalitas. Ia menuntut agar UMKM lokal, pekerja nasional, dan komunitas terdampak dilibatkan dalam proses pembangunan. Inklusi berarti memandang pembangunan bukan hanya dari sisi angka makro, melainkan juga distribusi mikro. Keadilan, pada sisi lain, menuntut distribusi manfaat yang lebih merata, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta pengakuan epistemik bahwa Indonesia berhak menulis narasinya sendiri dalam hubungan ini. Tanpa dua hal ini, investasi sebesar apa pun hanya akan mempertebal kesenjangan dan memperkuat oligarki, bukan membangun kemandirian.
Parag Khanna dalam bukunya Connectography: Mapping the Future of Global Civilization (2016) menekankan bahwa dunia masa depan bukan hanya ditentukan oleh peta geopolitik, melainkan juga oleh jaringan infrastruktur dan konektivitas. Pandangan ini relevan dengan konteks Indonesia–Tiongkok. Proyek-proyek besar yang menghubungkan pelabuhan, kereta cepat, dan industri memang meningkatkan konektivitas, tetapi pertanyaan utamanya adalah siapa yang terkoneksi, dan siapa yang tertinggal. Konektivitas tanpa inklusi hanya akan menciptakan jaringan eksklusif yang dikuasai segelintir aktor, bukan ekosistem pembangunan yang merata.
Kishore Mahbubani dalam Has China Won? (2020) menggambarkan dilema dunia dalam merespons kebangkitan Tiongkok. Pertanyaan itu juga relevan bagi Indonesia. Kebangkitan Tiongkok bukan semata soal kekuatan ekonomi, melainkan juga tentang bagaimana negara negara lain menegosiasikan posisi mereka. Indonesia tidak boleh menjawab pertanyaan “apakah Tiongkok menang?” dengan kepasrahan, melainkan dengan strategi yang memastikan bahwa kebangkitan itu tidak mengorbankan kepentingan nasional. Inklusi dan keadilan menjadi kunci agar relasi ini tidak berubah menjadi cerita dominasi baru.
Sejarah memberikan pelajaran berharga. Graham Allison dalam Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap? (2017) menyoroti risiko konflik struktural antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Meski konteksnya Amerika Serikat dan Tiongkok, analogi itu berguna bagi Indonesia. Sebagai middle power, Indonesia tidak sedang bersaing untuk menjadi hegemon, tetapi ia tetap bisa terseret dalam arus konflik jika tidak berhati hati. Cara terbaik untuk menghindarinya adalah dengan memperkuat posisi tawar lewat koalisi middle powers di ASEAN, BRICS+, dan G20. Inklusi geopolitik berarti Indonesia tidak sendirian menghadapi Tiongkok, melainkan bagian dari jejaring negara-negara Selatan yang menuntut relasi lebih adil.
Dalam China’s Gilded Age (2020), Yuen Yuen Ang menunjukkan bagaimana korupsi bisa menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dengan segala kompleksitasnya. Bagi Indonesia, analisis ini memberi peringatan bahwa investasi besar sering datang dengan risiko tata kelola yang buruk, penyalahgunaan kekuasaan, dan penguatan oligarki. Maka inklusi dan keadilan bukan hanya tuntutan normatif, melainkan juga mekanisme pencegah agar relasi bilateral tidak memperburuk kualitas demokrasi Indonesia.
Esensi dari semua ini adalah bahwa relasi Indonesia–Tiongkok tidak bisa lagi dipahami sebagai transaksi ekonomi semata. Ia adalah panggung politik, arena ide, dan medan normatif. Setiap proyek investasi harus dilihat bukan hanya dari return on investment, melainkan juga return on inclusion dan return on justice. Apakah ia memberi pekerjaan layak bagi rakyat? Apakah ia menghormati hak-hak masyarakat lokal? Apakah ia membuka ruang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri nasionalnya? Jika jawabannya tidak, maka investasi itu gagal memenuhi syarat minimal sebuah relasi yang sehat.
Mekanisme Inklusi
Indonesia harus berani menggeser paradigma. Pragmatisme ekonomi yang selama ini dominan harus ditransformasikan menjadi inklusi strategis. Setiap perjanjian investasi harus memiliki klausul yang jelas, yaitu alih teknologi, keterlibatan UMKM, perlindungan lingkungan, partisipasi masyarakat. Diplomasi ekonomi tidak boleh lagi hanya diukur dari seberapa besar dana yang masuk, melainkan seberapa adil manfaatnya didistribusikan.
Tantangan terbesar dalam hubungan Indonesia–Tiongkok sebenarnya bukan terletak pada niat salah satu pihak, melainkan pada bagaimana relasi yang secara alami asimetris ini dikelola agar menghasilkan manfaat timbal balik. Ukuran ekonomi dan kapasitas teknologi Tiongkok memang jauh melampaui Indonesia, namun justru karena itulah kerja sama harus dirancang sedemikian rupa sehingga memperkuat, bukan melemahkan, kapasitas domestik. Pertanyaannya bukan “apakah Tiongkok memberi atau tidak memberi,” melainkan “apakah Indonesia mampu menegosiasikan syarat yang memastikan pembangunan itu inklusif dan berkeadilan.”
Salah satu jalur yang bisa ditempuh adalah menegaskan komitmen pada keterlibatan lokal. Sudah saatnya setiap nota kesepahaman atau kontrak investasi disertai klausul yang mendorong kolaborasi dengan UMKM, perguruan tinggi, dan komunitas lokal. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi target yang bisa diukur, seperti persentase rantai pasok yang berasal dari perusahaan nasional atau jumlah tenaga kerja Indonesia yang mendapat pelatihan teknis. Skema ini akan memperkuat rasa memiliki di tingkat masyarakat, sekaligus memastikan proyek tidak dipersepsi sebagai sesuatu yang “asing.” Dengan demikian, investasi yang masuk dapat tumbuh menjadi ekosistem ekonomi yang berakar kuat di tanah Indonesia. Deborah Brautigam lewat The Dragon’s Gift (2009) menunjukkan bahwa pengalaman negara-negara Afrika dengan Tiongkok memperlihatkan pentingnya negosiasi lokal agar investasi tidak menjadi beban, melainkan aset pembangunan.
Namun tanpa mekanisme konkret, klausul ini akan mudah berubah menjadi formalitas. Di Morowali, misalnya, masyarakat lokal kerap mengeluhkan minimnya akses terhadap informasi dan pelatihan, padahal kawasan itu kini menjadi jantung industri nikel global. Banyak pekerja masuk, banyak perusahaan berdiri, tetapi sebagian warga sekitar merasa hanya jadi penonton. Forum bersama yang melibatkan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat bisa menjadi solusi yang berfungsi sebagai ruang reguler untuk menyampaikan keluhan, memberi rekomendasi, sekaligus memantau komitmen keterlibatan lokal. Jika forum semacam ini dijalankan dengan konsisten, ketegangan sosial bisa diantisipasi sejak dini dan rasa percaya publik lebih mudah dibangun.
Hal serupa juga terlihat di Rempang, di mana proyek eco city yang digadang sebagai lompatan modernisasi justru memicu resistensi karena warga merasa tidak pernah diajak bicara. Pelajaran dari kasus-kasus ini sederhana, yakni bahwa investasi yang besar tidak akan berjalan mulus jika tidak dibarengi legitimasi sosial. Oleh sebab itu, konsultasi publik seharusnya dipandang bukan hambatan, melainkan fondasi. Transparansi informasi dan partisipasi sejak awal akan memperkuat legitimasi, dan legitimasi adalah modal politik yang jauh lebih mahal daripada modal finansial. Sebagaimana dicatat Leo Suryadinata dalam The Growing “Strategic Partnership” between Indonesia and China Faces Difficult Challenges (2017), kerja sama RI–RRT kerap terhambat oleh tiga ranjau sensitive, yaitu arus pekerja Tiongkok, klaim tumpang tindih di Natuna, serta dinamika politik domestik Indonesia.
Dalam konteks geopolitik, Indonesia menghadapi dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, Tiongkok adalah mitra utama dalam investasi dan perdagangan. Di sisi lain, kawasan Indo Pasifik juga dipenuhi dinamika strategis yang menuntut Indonesia menjaga kedaulatannya. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang dipelopori Indonesia menawarkan prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Prinsip ini bisa menjadi landasan penting bagi hubungan dengan Tiongkok, dengan menegaskan bahwa kerja sama yang intensif bukan berarti eksklusif, melainkan terbuka terhadap kolaborasi regional yang lebih luas. Prinsip AOIP bisa diterjemahkan dalam praktik, misalnya proyek infrastruktur yang melibatkan Jepang, Tiongkok, dan Indonesia secara terbuka, sehingga kerja sama tidak hanya bilateral, tetapi juga memperkuat arsitektur kawasan yang inklusif. Dengan cara itu, relasi bilateral Indonesia–Tiongkok bukan hanya bermanfaat secara ekonomi, tetapi juga menopang stabilitas kawasan. Sejalan dengan analisis Andrew Nathan dan Andrew Scobell dalam China’s Search for Security (2012), kebijakan luar negeri Tiongkok di Asia kerap didorong oleh kebutuhan menjaga keamanan strategisnya, dan di sinilah Indonesia perlu memainkan peran sebagai penyeimbang agar stabilitas kawasan tetap terjaga.
Arah Baru
Faktor sosial-budaya juga tak bisa diabaikan. Persepsi publik Indonesia terhadap Tiongkok cenderung ambivalen, dengan satu sisi mengakui manfaat ekonomi dan sisi lain menyimpan kekhawatiran akan ketimpangan. Di sinilah diplomasi budaya dan pendidikan memainkan peran strategis. Beasiswa, program pertukaran pelajar, kerja sama riset, serta festival budaya dapat menjadi sarana memperluas pemahaman dan mengurangi kesalahpahaman. Namun agar efektif, inisiatif ini tidak boleh hanya terfokus di kota-kota besar. Program yang menyentuh daerah, melibatkan sekolah-sekolah lokal, dan menghadirkan pengalaman langsung bagi masyarakat akan jauh lebih berdampak. Diplomasi budaya yang efektif harus berani menyentuh memori kolektif yang sensitif, bukan sekadar menampilkan tarian dan kuliner. Hal ini sejalan dengan analisis Joshua Kurlantzick dalam Charm Offensive (2007) tentang bagaimana soft power Tiongkok hanya akan efektif jika mampu menyentuh dimensi emosional dan sejarah bangsa mitranya. Artinya, ia harus diiringi dengan upaya rekonsiliasi sejarah, mengakui luka masa lalu, dan membangun ruang dialog yang jujur.
Sejarah panjang hubungan Indonesia–Tiongkok memang masih meninggalkan jejak. Setelah normalisasi hubungan diplomatik pada 1990, interaksi kedua negara berkembang pesat, namun tetap diwarnai dinamika. Ingatan kolektif bangsa Indonesia terhadap masa-masa sulit di 1965 atau 1998 masih membentuk persepsi sebagian masyarakat. Karena itu, membangun keadilan dalam relasi bilateral juga berarti mengisi kekosongan narasi. Indonesia perlu menulis ceritanya sendiri, menegaskan bahwa hubungan dengan Tiongkok adalah hasil pilihan sadar, bukan paksaan. Leo Suryadinata dalam The Rise of China and the Chinese Overseas (2017) menunjukkan bagaimana kebijakan Beijing terhadap diaspora Tionghoa di Asia Tenggara turut memengaruhi persepsi masyarakat lokal dan dinamika hubungan Indonesia–Tiongkok. Dengan narasi yang dibangun dari dalam negeri, rasa percaya masyarakat akan lebih mudah tumbuh.
Selain itu, dimensi lingkungan hidup perlu menjadi perhatian bersama. Banyak proyek kerja sama berada di sektor ekstraktif dan berpotensi menimbulkan dampak ekologis. Di sinilah kerja sama bisa diperluas ke bidang teknologi hijau, energi terbarukan, dan standar lingkungan yang tinggi. Dengan menjadikan keberlanjutan sebagai agenda bersama, hubungan Indonesia–Tiongkok tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memberikan warisan positif bagi generasi mendatang. Prinsip keadilan antar-generasi ini akan menunjukkan bahwa kedua negara tidak hanya memikirkan kepentingan hari ini, tetapi juga masa depan bersama.
Tantangan-tantangan ini tidak seharusnya dibaca sebagai hambatan, melainkan peluang untuk memperkuat fondasi hubungan bilateral. Relasi yang sehat justru lahir dari keberanian menghadapi isu-isu sensitif dengan kepala dingin dan semangat kolaborasi. Kritik konstruktif yang diarahkan ke kapasitas Indonesia untuk menegosiasikan syarat, serta dorongan agar relasi dikelola dengan transparansi, sesungguhnya memperkaya kemitraan. Dengan menggeser fokus dari “siapa memberi siapa” ke “bagaimana kita membangun bersama,” maka relasi Indonesia–Tiongkok bisa melampaui logika transaksional. Ia bisa menjelma menjadi kemitraan sejati yang berakar pada rasa percaya, keterbukaan, dan saling menghargai perbedaan.
Dalam kerangka multipolaritas global, pengalaman Indonesia mengelola relasi dengan Tiongkok dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain di Global South. Dunia sedang bergerak ke arah distribusi kekuasaan yang lebih seimbang, dan negara-negara berkembang memiliki kesempatan untuk menulis aturan main baru. Indonesia dapat menunjukkan bahwa relasi dengan kekuatan besar tidak harus timpang, asalkan dikelola dengan prinsip inklusi, keadilan, dan keberlanjutan. Inilah kontribusi normatif yang bisa diusung Indonesia ke forum internasional bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya mungkin jika semua pihak merasa memiliki, jika setiap suara didengar, dan jika manfaatnya dirasakan secara adil.
Relasi bilateral pada akhirnya bukan hanya tentang investasi atau perdagangan. Jika Indonesia gagal menegosiasikan keadilan, maka sejarah tidak akan mencatatnya sebagai mitra, tapi sebagai pasar. Di dunia multipolar, yang tidak menulis akan ditulis. Indonesia harus memilih antara menjadi narator atau menjadi catatan kaki.
Daftar Pustaka
- Allison, Graham. Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap? Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2017.
- Ang, Yuen Yuen. China’s Gilded Age: The Paradox of Economic Boom and Vast Corruption. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.
- Acharya, Amitav. The End of American World Order. 2nd ed. Cambridge: Polity Press, 2018.
- Brautigam, Deborah. The Dragon’s Gift: The Real Story of China in Africa. Oxford: Oxford University Press, 2009.
- Khanna, Parag. Connectography: Mapping the Future of Global Civilization. New York: Random House, 2016.
- Kurlantzick, Joshua. Charm Offensive: How China’s Soft Power Is Transforming the World. New Haven: Yale University Press, 2007.
- Mahbubani, Kishore. Has China Won? The Chinese Challenge to American Primacy. New York: PublicAffairs, 2020.
- Nathan, Andrew J., and Andrew Scobell. China’s Search for Security. New York: Columbia University Press, 2012.
- Suryadinata, L. (2017). The growing “strategic partnership” between Indonesia and China faces difficult challenges. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute
- Suryadinata, Leo. 2017. The Rise of China and the Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.